Halaqah 98: Poin-Poin Penutup – Kewajiban Untuk Kufur Kepada Thagut Dan Perintah Untuk Beriman Kepada Allah
Materi HSI pada halaqah ke-98 dari halaqah silsilah ilmiyyah abdullah roy bab Kitab Ushul Ats Tsalatsah adalah tentang poin-poin penutup kewajiban untuk kufur kepada Thagut dan perintah untuk beriman kepada Allah.
Beliau mengatakan
وافترض الله على جميع العباد الكفر بالطاغوت، والإيمان بالله
Allah ta’ala mewajibkan kepada seluruh hamba untuk mengkufuri thaghut dan beriman kepada Allah ta’ala
Dan ini adalah dakwahnya para nabi dan juga para rasul, dan di dalam ayat yang lain Allah ta’ala mengatakan,
فَمَن يَكْفُرْ بالطَّاغُوت وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انَفِصَام لَهَا وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
sebagaimana nanti akan disebutkan. Maka hukumnya wajib untuk kufur dengan thaghut dan ini adalah perintah
اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ
dan asal dari perintah adalah kewajiban, maka kufur dengan thoghut mengingkari thoghut ini adalah sebuah kewajiban sebagaimana beriman kepada Allah ta’ala ini juga merupakan sebuah kewajiban.
Thoghut diambil dari kata
طغى – يطغى – طغيا
yang arti طغى ini adalah melampaui batas (mujawazatu al-Had).
Di dalam Al-Quran Allah ta’ala ketika menceritakan tentang air besar yang ada di zaman Nabi Nuh عليه السلام, banjir bandang melampaui batas air tersebut, Allah ta’ala mengatakan
إِنَّا لَمَّا طَغَا ٱلۡمَآءُ حَمَلۡنَٰكُمۡ فِي ٱلۡجَارِيَةِ الـحاقّـة:11
sesungguhnya ketika air itu sudah melampaui batas maka Kami mengangkut kalian, membawa kalian di dalam perahu ketika air sudah mulai melampaui batas, sehingga dikhawatirkan tenggelam Kami bawa kalian Kami angkut kalian di dalam ٱلۡجَارِيَةِ. Berarti طغيا طَّاغُوت itu berasal dari kata طغى – يطغى yaitu melampaui batas (mujawazatu al-Had), mujawazah artinya adalah melampaui, Al-Haddi artinya adalah batas. Segala sesuatu yang melampaui batas maka ini dinamakan dengan thaghut.
Kita lihat ucapan Ibnul Qayyim
قال ابن القيم -رحمه الله تعالى
dan ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim di dalam kitab beliau I’lamul-Muwaqqi’in
والطاغوت كل ما تجاوز به العبد حده من معبود أو متبوع أو مطاع
dan yang dimaksud dengan dengan thaghut kata beliau adalah segala sesuatu yang seorang hamba melebihi batasnya, maka itu dinamakan dengan thagut, baik thaghut tersebut berupa yang pertama adalah ma’bud atau yang kedua berupa mathbu’ atau yang ketiga berupa mutho’.
Yang berupa ma’bud, segala sesembahan selain Allah ta’ala dan dia ridho disembah maka itu adalah thagut, karena ini sudah melampaui batas-batasnya, yang namanya ibadah hanyalah untuk Allah ta’ala saja. Kalau sampai ibadah tadi keluar dan diserahkan kepada selain Allah ta’ala dan dia ridho disembah selain Allah ta’ala maka dia adalah thoghut, karena ibadah batasnya hanya untuk Allah ta’ala saja. Dia keluarkan ibadah tadi kepada selain Allah ta’ala, diserahkan kepada selain Allah ta’ala, dan ridho disembah dan di ibadahi maka dia adalah thaghut.
Atau dia thoghut berupa sesuatu yang diikuti, seperti misalnya para ulama atau orang yang diulamakan, mereka adalah mathbu’. manusia mengikuti dia, meniru dia. Batasnya yang namanya ulama itu adalah diikuti selama dia berpegang dengan dalil, apa yang diucapkan sesuai dengan dalil, apa yang dilakukan sesuai dengan dalil, itu batasnya. Kalau sampai melebihi batas artinya sampai diikuti dia di dalam perkara yang tidak ada dalilnya atau yang menyelisihi dalil, keluar batas sampai di ikuti ulama tadi di dalam perkara yang tidak sesuai dengan dalil dan dia ridho diikuti dengan cara seperti itu maka dia adalah thaghut.
Jadi seorang yang diulamakan oleh manusia dan dia ridho manusia menganggap dia ma’sum, menganggap dia benar semuanya, mengikuti dia dan menyuruh manusia untuk mengikuti dia di dalam benarnya di dalam salahnya maka ini adalah thaghut. Ada thoghut berupa ma’bud dan ada thoghut berupa mathbu’.
Dan ada thaghut berupa mutho’, yang ditaati, mereka adalah umaro’, di dalam Islam taat kepada umaro’ ada batasnya, yaitu فِي مَعْرُوفِ
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
Sesungguhnya ketaatan itu hanya di dalam ma’ruf saja
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
tidak ada ketaatan terhadap makhluk di dalam kemaksiatan kepada Allah ta’ala.
Jadi umaro’ ditaati tapi ada batasnya yaitu selama tidak maksiat. Ulama diikuti selama berpegang dengan dalil, ada batasnya. Kalau sudah keluar batas sampai amaro’ amir ditaati dalam perkara kemaksiatan dan dia ridho ditaati dalam kemaksiatan maka dia adalah thoghut. Kalau seorang pemimpin, seorang amir, ridho ditaati dalam kemaksiatan, di dalam perkara yang bertentangan dengan dalil maka dia adalah thoghut karena batasnya hanya sebatas di dalam ma’ruf saja, di dalam kebaikan saja.
Makanya ta’rif dari Ibnul Qayyim ini adalah ta’rif yang bagus sekali, jadi dia bukan hanya thaghut dengan makna yang di ibadahi dan dia ridho selain Allah ta’ala tapi juga masuk di dalamnya adalah mathbu’, seorang yang diulamakan dan dia ridho untuk diikuti di dalam kemaksiatan, demikian pula umaro’ yang dia ridho ditaati oleh rakyatnya di dalam kemaksiatan.
Adapun kalau dia tidak ridho disembah oleh manusia dan dia tidak ridho diikuti oleh manusia, dianggap dia ma’sum padahal dia tidak ridho dianggap sebagai orang yang ma’sum. Ditaati oleh manusia dianggap ucapan dia adalah ucapan Allah ta’ala, perintah dia adalah perintah Allah ta’ala, tapi dia tidak ridho disikapi seperti itu maka mereka tidak dinamakan dengan thoghut. Seperti nabi ‘Isa عليه السلام disembah oleh orang-orang Nasrani dan dia tidak ridho disembah.
مَا قُلۡتُ لَهُمۡ إِلَّا مَآ أَمَرۡتَنِي بِهِۦٓ أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمۡۚ [ المائدة:117
Para ulama ahlussunnah, Imam Syafi’i sebagian ghuluw terhadap beliau, Imam Malik sebagian ghuluw terhadap beliau, Imam Ahmad sebagian ghuluw terhadap beliau, tetapi mereka tidak ridho. Imam Malik mengatakan,
كل يُؤخذ من كلامه ويُرد إلا صاحب هذا القبر
Masing-masing bisa ditolak dan diterima ucapannya kecuali yang memiliki kuburan ini, beliau mengisyaratkan kepada kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Al-Imamu Ahmad mengatakan,
عجبت لقوم عرفوا الإسناد وصحته ويذهبون إلى رأي سفيان
Aku heran dengan sebuah kaum yang mereka mengetahui tentang hadits dan mengetahui tentang sahihnya hadits tersebut tapi mereka lebih memilih ucapan Sufyan, yaitu Sufyan Ats-Tsauri.
Ini adalah ucapan Imam Malik, ucapan Imam Ahmad yang menunjukkan bahwasanya mereka tidak ridho dengan orang yang meyakini bahwasanya mereka ma’sum, meyakini bahwasanya pasti benar. Bahkan keluar dari lisan mereka ucapan yang mengharuskan umat untuk mendahulukan ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diatas ucapan manusia. Adapun mereka maka bisa salah bisa benar.