Halaqah 145: Ahlus Sunnah Tidak Mengkafirkan Ahlu Kiblat (Bagian 2)
Halaqah yang ke-145 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Beliau mengatakan rahimahullah
وَلاَ يَسْلُبُونَ الْفَاسِقَ الْمِلِّيَّ
Dan mereka tidak menghilangkan dari seorang yang fasiq, fasiq disini adalah orang yang berbuat dosa besar ataupun orang yang sering melakukan dosa kecil, dosa kecil kalau sering dilakukan maka dia dinamakan orang yang fasiq melakukan dosa besar sekali maka dia dinamakan dengan orang yang fasiq, ini fasiq dalam arti kemaksiatan dan kadang dalam Al-Qur’an fasiq maknanya adalah kekafiran
أَفَمَن كَانَ مُؤْمِنًا كَمَن كَانَ فَاسِقًا
[As-Sajdah:18]
fasiqan disini adalah orang yang kafir, tetapi yang dimaksud disini adalah orang yang berbuat maksiat seperti Firman Allah subhanahu wata'ala
إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ
Al-milliyya ini nisbah kepada al-millah (agama Islam), sehingga الْفَاسِقَ الْمِلِّيَّ artinya adalah orang fasiq yang beragama Islam, berarti fasiq disini adalah kefasiqan yang kecil bukan yang besar. Orang yang melakukan dosa besar dan sering melakukan dosa kecil maka Ahlus Sunnah mereka tidak menghilangkan dari orang fasiq ini
اسْمِ الإيمَانِ بِالْكُلِّيَّةِ
tidak dihilangkan darinya keimanan secara keseluruhan sehingga dinamakan dia adalah orang yang kafir mereka tidak menghilangkan yang demikian, ini penjelasan dari yang sebelumnya bahwasanya mereka
لا يُكَفِّرُونَ أَهْلَ الْقِبْلَةِ
وَلاَ يُخَلِّدُونَهُ فِي النَّار
dan mereka tidak meyakini bahwa orang fasiq tadi kekal didalam neraka, berarti yang pertama tadi adalah berkaitan dengan asma (nama) tidak dinamakan sebagai orang kafir dan secara hukum mereka tidak menghukumi pelaku kefasiqan tadi sebagai orang yang kekal didalam neraka, dalilnya banyak diantaranya adalah syafaat disebutkan mereka tidak kekal didalam neraka tapi akan dikeluarkan oleh Allah subhanahu wata'ala
كَمَا تَقُولُ الْمُعْتَزِلَةُ
sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang mu’tazilah, orang-orang mu’tazilah meyakini bahwasanya mereka ini yaitu orang fasiq ini didunia berada di sebuah kedudukan diantara dua kedudukan dia bukan dinamakan sebagai orang yang beriman dan bukan dinamakan orang yang kafir sehingga mereka menghilangkan nama iman dari orang yang fasiq, adapun orang-orang khawarij mengatakan kafir orang mu’tazilah mengatakan manzilah bayna manzilatain, adapun di akhirat keduanya sama-sama meyakini bahwa orang fasiq atau orang yang melakukan dosa besar tadi kekal di dalam neraka.
بَلِ الْفَاسِقُ يَدْخُلُ فِي اسْمِ الإيمَان
Bahkan orang yang fasiq tadi (fasiq yang kecil bukan fasiq yang merupakan kekafiran) dia masuk di dalam nama keimanannya, dia termasuk orang yang beriman dia punya pondasi dari keimanan
كَمَا فِي قَوْلِهِ
seperti dalam Firman Allah subhanahu wata'ala
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ
[An-Nisa’:92]
maka dia membebaskan seorang budak yang beriman, yaitu baik orang yang sempurna keimanannya maupun seorang budak yang fasiq, seandainya seseorang membebaskan seorang budak dan dia adalah seorang muslim yang fasiq maka dia sah karena budak yang fasiq tadi dia termasuk orang yang beriman tapi dia kurang imannya bukan orang yang kafir
وَقَدْ لاَ يَدْخُلُ فِي اسْمِ الإِيمَانِ الْمُطْلَقِ
dan mungkin saja terkadang tidak masuk di dalam nama iman yang mutlak, al-iman al-muthlaq itu maksudnya adalah al-iman al-kamil (iman yang sempurna), jadi orang yang fasiq tadi tidak masuk dalam iman yang sempurna, iman yang sempurna sebagaimana dalam Firman Allah subhanahu wata'ala
إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُهُمۡ
[Al-Anfal:2]
Orang-orang yang beriman adalah orang yang apabila disebutkan nama Allah subhanahu wata'ala bergetar hatinya, yang dimaksud dengan al-mu’minun dalam ayat ini adalah al-mu’minun al-iman al-muthlaq al-kamil mereka adalah orang-orang beriman yang sempurna keimanannya maka orang fasiq tadi tidak masuk dalam ayat ini karena orang yang fasiq ketika dia disebutkan nama Allah subhanahu wata'ala biasa saja hatinya, tapi orang yang sempurna keimanannya disebutkan nama Allah subhanahu wata'ala bergetar hatinya, jadi orang yang fasiq masuk dalam
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ
tapi tidak masuk dalam Firman Allah subhanahu wata'ala
إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُهُمۡ
karena al-mu’minun yang kedua ini adalah al-iman al-muthlaq adapun al-iman yang disebutkan dalam
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ
ini dinamakan dengan muthlaqul iman (ashlul iman/asal dari keimanan), dia punya iman kepada Allah subhanahu wata'ala iman kepada hari akhir, maka dia memiliki muthlaqul iman tapi tidak memiliki al-iman al-muthlaq karena al-iman al-muthlaq adalah iman yang sempurna.
وَقَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم
Dan dia tidak masuk dalam sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ
Seorang yang berzina tidaklah dia berzina ketika dia berzina dalam keadaan dia beriman, seseorang yang berzina ketika dia berzina maka dia tidak beriman, yang dimaksud dengan mu’min disini dia tidak beriman dengan iman yang sempurna dengan al-iman al-muthlaq, jadi yang dinafikan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam disini adalah al-iman al-muthlaq tetapi dia memiliki muthlaqul iman, orang yang berzina ketika dia sedang berzina itu imannya sedang turun dan mungkin saja setelah berzina dia menyesal dan bertaubat kepada Allah subhanahu wata'ala kembali keimanannya
وَلا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ
Dan tidaklah orang yang mencuri ketika dia mencuri dalam keadaan beriman, ketika mencuri imannya sangat lemah
وَلاَ يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ
Dan tidaklah seseorang meminum minuman keras ketika dia minum minuman keras dan dia dalam keadaan beriman
وَلاَ يَنْتَهِبُ نَهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ
dan tidaklah dia mengambil harta yang berharga (yang memiliki kemuliaan)
يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ فِيهَا أَبْصَارَهُمْ
dimana manusia ketika dia mengambil harta tanpa haq tadi manusia melihat kepada dirinya
حِينَ يَنْتَهِبُهَا
ketika dia merampoknya/mengambilkan tanpa haq
وَهُوَ مُؤْمِنٌ
dan dia dalam keadaan beriman.
Berarti dalam keadaan seperti itu ketika berzina ketika mencuri ketika minum-minuman keras ketika merampok maka imannya sedang turun, jadi yang dinafikan disini iman yang muthlaq (iman yang sempurna) makanya beliau mengatakan
قَدْ لاَ يَدْخُلُ فِي اسْمِ الإِيمَانِ الْمُطْلَقِ؛ كَمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَى وَقَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم
sebagaimana dalam ayat dan juga dalam hadits ini, karena yang disebutkan dalam ayat tadi (Al-Anfal) dan juga hadits ini adalah iman yang sempurna.
وَيَقُولُونَ
Dan mereka mengatakan (ahlussunnah wal jama’ah), ini adalah kesimpulan dari apa yang disampaikan oleh beliau sebelumnya apa yang dikatakan ahlussunnah tentang pelaku dosa besar, orang khawarij mengatakan kafir orang mu’tazilah mengatakan fi manzilah bayna manzilatain kalau ahlussunnah mereka mengatakan
هُوَ مُؤْمِنٌ نَاقِصُ الإِيمَانِ
orang yang melakukan dosa besar dia adalah orang yang beriman tetapi dia kurang imannya, مُؤْمِنٌ berarti ini bantahan kepada orang-orang khawarij dan juga orang-orang mu’tazilah, نَاقِصُ الإِيمَانِ berkurang keimanannya bantahan kepada orang-orang murji’ah karena orang-orang murji’ah meyakini pelaku dosa besar sempurna keimanannya, di kalimat ini ringkas tapi membantah aliran aliran tadi khawarij mu’tazilah dan juga murji’ah. Atau mereka mengatakan
أَوْ مُؤْمِنٌ بِإِيمَانِهِ فَاسِقٌ بِكَبِيرَتِهِ
mereka ini adalah orang yang beriman dengan keimanannya tapi dia adalah orang yang fasiq dengan dosa besarnya, dia adalah orang yang beriman karena dia memiliki ashlul iman beriman dengan rukun iman dia memiliki mutlak muthlaqul iman tapi dia
فَاسِقٌ بِكَبِيرَتِهِ
dia adalah orang yang fasiq dengan sebab dia melakukan dosa besar, jadi kadang mereka mengatakan
مُؤْمِنٌ نَاقِصُ الإِيمَانِ
atau mengatakan
مُؤْمِنٌ بِإِيمَانِهِ فَاسِقٌ بِكَبِيرَتِهِ
dua-duanya maknanya sama
مُؤْمِنٌ بِإِيمَانِهِ
Ini bantahan kepada khawarij dan juga mu’tazilah
فَاسِقٌ بِكَبِيرَتِهِ
ini bantahan terhadap murji’ah yang mengatakan pelaku dosa besar sempurna keimanannya
فَلاَ يُعْطَى الاسْمَ الْمُطْلَقَ، وَلاَ يُسْلَبُ مُطْلَقَ الاسْمِ
maka seorang pelaku dosa besar tidak diberikan al-isma al-muthlaq, al-ism disini adalah al-iman tidak dinamakan atau tidak diberikan kepadanya keimanan yang mutlak keimanan yang sempurna, kita tidak mengatakan bahwasanya pelaku dosa besar itu sempurna keimanannya
وَلاَ يُسْلَبُ مُطْلَقَ الاسْمِ
dan tidak diambil dari dia (orang yang fasiq tadi) مُطْلَقَ الاسْمِ ushul atau pondasi dari keimanan, jadi al-ism disini Allahu a’lam adalah iman maksudnya, tidak diambil darinya pondasi dari keimanan, jadi orang yang fasiq tidak kita katakan pondasi imannya hilang, dia memiliki pondasi keimanan tapi dia berkurang keimanannya dengan sebab dosa besar yang dia lakukan.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Al Aqidah Al Wasithiyyah]