Halaqah 181: Ahlu Sunnah Berpegang dengan Ijma Salaf
Halaqah yang ke-181 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Beliau mengatakan:
وَالإِجِمَاعُ هُوَالأَصْلُ الثَّالِثُ الَّذِي يُعْتَمَدُ عَلَيْهِ فِي الْعِلْمِ وَالدينِ
Selain Al-Qur’an dan juga Sunnah (Al-Kitab wa As-Sunnah) mereka juga berpegang dengan Ijma. Ahlus Sunnah wal Jama’ah mereka juga menjadikan Ijma ini sebagai الأَصْلُ الثَّالِثُ dalīl yang ketiga.
Sebagian mereka ada yang menuduh kita tidak menganggap Ijma, mereka mengatakan kalian menyelisihi ijma. Ijma telah membolehkan amaliyah ini. Ternyata kalau kita teliti Ijma yang mereka maksud lain dengan Ijma yang kita maksud.
Apa yang dimaksud dengan Ijma, yang menjadi dalil yang ketiga setelah Al-Qur’an dan juga Hadīts?
Kita juga mengakui berdalil dengan Ijma tapi apa yang dimaksud dengan Ijma?
الَّذِي يُعْتَمَدُ عَلَيْهِ فِي الْعِلْمِ وَالدينِ
“Yang dijadikan pegangan di dalam masalah ilmu juga ibadah.”
Ad-Dīn (الدينِ) di sini wallahu ta’ala a’lam maknanya adalah ibadah.
Dalam masalah ilmu, dalam masalah khabar (berita) terkadang dari Ijma atau dalam sisi ibadah yaitu hukum-hukum dasarnya juga terkadang dari Ijma, berupa ilmu misalnya tentang kabar bahwa nama malaikat yang meniup sangkakala adalah Israfil.
Di dalam Sunnah itu disebutkan Israfil tapi tidak disebutkan bahwa Israfil adalah yang meniup sangkakala ربَّ جبريلَ وميكائيلَ وإسرافيلَ.
Ketika disebutkan yang meniup sangkakala tidak disebutkan nama Israfil, dimana kita dapat? Di dalam Ijma. Bahwasanya nama malaikat yang meniup sangkakala adalah Israfil. Ini dalam hal ilmu atau dalam agama atau dalam ibadah maka banyak Ijma misalnya tentang wajibnya shalat berjamaah. Ini Ijma.
Al-Qur’an dan Sunnah dan juga Ijma.
وَهُمْ يَزِنُونَ بِهَذِه الأُصُولِالثَّلاثَةِ جَمِيعَ مَا عَلَيْهِ النَّاسُ مِنْ أَقْوَالٍ وَأَعْمَالٍ بَاطِنَةٍ أَوْ ظَاهِرَةٍ مِمَّا لَهُ تَعَلُّقٌبِالدِّينِ
“Mereka menimbang dengan tiga perkara ini yaitu Al-Quran dan Sunnah dan Ijma seluruh apa yang dilakukan oleh manusia baik berupa ucapan maupun perbuatan yang bathin maupun yang dhahir.”
Jadi kalau masih ada yang bingung ini benar atau salah, ditimbang dulu, Quran dan Sunnah baik lafadz maupun pemahamannya kemudian juga dilihat dari Ijma.
Ijma Ahlus Sunnah wal Jama’ah (ijma sahabat). Kalau menyelisihi Ijma maka ini jelas tertolak sebagaimana kalau itu menyelisihi Al-Qur’an dan juga Sunnah.
Dalīl bahwasanya Ijma ini adalah merupakan pondasi adalah Firman Allah subhanahu wata'ala
وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menyelisihi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam setelah jelas baginya petunjuk dan mengikuti selain jalannya orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nissa:115)
Ini menjadi dalīl bahayanya orang yang menyelisihi Ijma. Dia mengikuti selain jalannya orang-orang yang beriman yaitu jalannya para sahabat.
نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ
“Kami biarkan dia, kemana dia pergi dan Kami akan memasukkan dia ke dalam Jahannam.”
Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan: “Tidak akan berkumpul umatku di atas kesesatan.”
Kalau mereka berijma, mereka bersatu sepakat dalam sebuah perkara, maka ini menunjukkan yang menyelisihi itu adalah sebuah kesesatan karena yang namanya Ijma itu pasti ada dasarnya dari Al-Qur’an dan juga Hadīts.
Ketika para sahabat radhiyallahu ‘anhum sepakat dalam sebuah perkara, mereka bisa bersepakat karena mereka dasarnya sama yaitu Al-Quran dan juga Hadīts. Sehingga mereka bisa sepakat.
Jadi yang namanya Ijma pasti di sana ada asalnya ada sumbernya. Terkadang kita mengetahui terkadang kita tidak mengetahuinya.
مِمَّا لَهُ تَعَلُّقٌبِالدِّينِ
Di antara perkara-perkara yang punya hubungan dengan agama. Jadi perkaranya di sini yang Ijma merupakan dalīl adalah perkara agama bukan perkara dunia. Yang dibicarakan di sini adalah Ijma di dalam masalah agama bukan Ijma di dalam masalah dunia.
وَالإِجْمَاعُ الَّذِي يَنْضَبِطُ هُوَ مَا كَانَ عَلَيْهِ السَّلَفُ الصَّالِحُ؛ إِذْ بَعْدَهُمْ كَثُرَالاخْتِلاَفُ، وَانْتَشَرَ فِي الأُمَّةِ.
Dan Ijma yang dimaksud الَّذِي يَنْضَبِطُ yang bisa kita jadikan pegangan, yang bisa dipastikan Ijmanya, yang dimaksud adalah مَا كَانَ عَلَيْهِ السَّلَفُ الصَّالِحُ yaitu Ijma yang dilakukan oleh para السَّلَفُ الصَّالِحُ para pendahulu kita yang shalih.
Karena إِذْ بَعْدَهُمْ كَثُرَالاخْتِلاَفُ، وَانْتَشَرَ فِي الأُمَّة, maka karena setelah mereka terlalu banyak khilaf, kalau di zaman Salafush Shalih maka khilaf ini sedikit. Kalau dibandingkan dengan khilaf yang terjadi setelah mereka maka ikhtilaf yang terjadi setelah para Salafush Shalih terlalu banyak. Terlalu banyak permasalahan yang mereka khilaf adapun di zaman Salafush Shalih maka sedikit khilaf yang terjadi di antara mereka.
Kemudian yang kedua:
وَانْتَشَرَ فِي الأُمَّةِ.
“Sebabnya adalah karena umat ini sudah berpencar ke mana-mana.”
Kalau di zaman Salaf dulu mereka masih terbatas di beberapa daerah adapun sekarang ini sudah berpencar di mana-mana sehingga untuk mengatakan semuanya sepakat ini sulit. Kalau kita mengatakan mereka semuanya sepakat, darimana ucapan mereka semuanya sepakat? Padahal mungkin di sana ada ulama yang menyelisihi dan kita tidak tahu dia di mana.
Sehingga untuk mengatakan Ijma telah terjadi padahal umat telah berpisah dan berpencar di mana-mana ini sulit, sehingga sebagian Aimah mereka mengatakan, “Barangsiapa yang mengaku adanya Ijma maka dia telah bohong”, ini maksudnya adalah setelah di zaman para Salafush Shalih
Sulit untuk mengatakan ini adalah Ijma, karena banyak khilaf di antara para ulama kemudian mereka sudah tersebar di mana-mana. Untuk mengatakan semuanya mengatakan demikian, ini sulit. Oleh karena itu sebagaian ada yang mempersempit, Salafush Shalih di sini adalah di zaman sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Ada yang mengatakan zaman sahabat, ada yang mengatakan sahabat dan juga tabi’in, ada yang mengatakan sahabat tabi’in dan tabiut tabi’in. Tapi Allahu a’lam yang lebih kuat adalah maksudnya adalah Ijma yang ada di zaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum, karena di situlah يَنْضَبِطُ karena mereka masih berada di kota Madīnah dan diketahui ucapan-ucapan mereka.
Seandainya mereka pergi ke Yaman pergi ke Makkah di ketahui tentang keberadaan mereka sehingga mungkin يَنْضَبِطُ Ijma tersebut, pada Ijma yang dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Di sini tidak disebutkan qiyas, dia hanya disebutkan Al-Qur’an dan Sunnah dengan Ijma karena qiyas ini para ulama berselisih pendapat tentang apakah dia bisa menjadi dalīl atau tidak.
Sebagaimana kita tahu Ibnu Hazm misalnya berpendapat tidak ada qiyas, dan yang shahīh adalah pendapat jumhur ulama yang mereka mengatakan bahwasnya qiyas adalah termasuk dalīl tapi tidak disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di sini karena ini ada مختلف فيه خيلف di antara ulama.