Halaqah 177: Ahlu Sunah Mengikuti Wasiat Rasulullah (Bagian 2)
Halaqah yang ke-177 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Bagaimana aqidah Ahlus Sunnah terhadap atsar-atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan juga para Salaf.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberikan mau’idzah yaitu nasihat yang isinya adalah Targhib dan juga Tarhib
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيينَ
Dan wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahnya para khulafa’, sunnah artinya adalah jalan, khulafa’mereka adalah khalifah yaitu yang memimpin kaum muslimin sepeninggal Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, karena setelah Beliau shallallahu 'alaihi wasallam meninggal harus ada yang memimpin umat ini, yang mengganti Beliau shallallahu 'alaihi wasallam itulah yang dinamakan dengan khalifah, khalifah artinya adalah pengganti yang mengganti sepeninggal yang pertama.
Dan Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah yang menggantikan setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam maka dinamakan sebagai khalifatu Rasulillah shallallahu 'alaihi wasallam, setelahnya adalah Umar Bin Khattab, beliau adalah khalifah khalifati Rasulillah shallallahu 'alaihi wasallam (pengganti dari penggantinya Rasulillah shallallahu 'alaihi wasallam, penguasa dari penguasa setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam). Utsman bin Affan adalah khalifatu khalifati khalifati Rasulillah shallallahu 'alaihi wasallam karena dia adalah khalifah yang ketiga, kemudian yang keempat adalah Ali bin Abi Thalib, beliau adalah khalifah khalifati khalifati khalifati Rasulillah shallallahu 'alaihi wasallam. Mereka lah al khulafa’ setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Datang setelah Ali Bin Abi Thalib, Hasan bin Ali.
Maka kita diperintahkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk mengikuti khulafa’setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang mereka memiliki sifat
الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيينَ
الرَّاشِد ada yang mengatakan adalah orang yang berilmu dan mengamalkan ilmu, berarti para Khulafaur Rasyidin mereka adalah orang yang berilmu, mereka adalah ulamanya para sahabat mereka adalah orang-orang yang berilmu di antara para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sekaligus mereka adalah orang-orang yang mengamalkan ilmunya.
Kalau kita lihat sirah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar Bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, secara khusus kita dapatkan mereka adalah orang yang sangat getol dalam mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan orang yang paling berilmu, dan dengan ilmu ini akhirnya mereka bisa memimpin umat membawa mereka kepada kebaikan.
Lihat ketika Abu Bakar radhiallahu ta’ala ‘anhu, ada perselisihan diantara para sahabat tentang siapa yang menjadi khalifah setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, orang-orang Muhajirin mengatakan dari kami dan orang-orang Anshar mengatakan dari kami, sampai akhirnya datang Abu Bakar Ash-Shiddiq dan mengabarkan kepada mereka bahwasanya
الْأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ
Pemimpin-pemimpin / imam-imam itu adalah dari Quraisy.
Ini ucapan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, berarti ini menghapuskan perselisihan, tidak mungkin seorang Anshar menjadi seorang khalifah karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan
الْأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ
Imam / khalifah itu adalah dari Quraisy.
Abu Bakar ketika menyebutkan hadits tadi bukan berarti belum menunjuk dirinya sendiri, tapi beliau hanya menyebutkan bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengabarkan penguasa itu adalah dari Quraisy bukan dari kalangan Aus atau Khazraj, dan tidak harus diri beliau, beliau hanya menyebutkan pemimpin itu dari Quraisy.
Manusia berselisih pendapat apakah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah meninggal dunia atau belum, ada kabar beliau sudah meninggal dunia, Umar Bin Khattab tidak percaya dan bahkan mengancam orang yang mengatakan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam meninggal dunia. Datanglah Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan tenangnya beliau masuk ke rumah putrinya kemudian membuka wajah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kemudian mencium beliau dan mengatakan
طِبْتَ حَيًّا وَمَيِّتًا
Sungguh wangi dirimu ketika engkau masih hidup maupun setelah meninggal dunia
Kemudian setelah itu beliau keluar dan berbicara di hadapan manusia
مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ مَاتَ وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ
Barangsiapa yang menyembah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam ketahuilah bahwasanya Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam sudah meninggal dunia, dan barangsiapa yang menyembah Allah subhanahu wata'ala maka Allah subhanahu wata'ala Dialah yang Maha hidup dan tidak akan meninggal dunia.
Mengabarkan kepada manusia dengan tegas bahwasanya Muhammad sudah meninggal dunia kemudian beliau membacakan ayat dalam Al-Qur’an sampai saat itu Umar Bin Khattab radhiyallahu ta’ala ‘anhu ketika mendengar ayat tadi mengatakan seakan-akan baru hari tersebut dia mendengar ayat tadi padahal sebelumnya sudah hafal cuma disebutkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq pada waktunya yang menunjukkan bahwasanya kematian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah suatu sunnah, Sunnah Allah subhanahu wata'ala, sehingga selesai perkara saat itu.
Demikian pula ketika akan menguburkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, apakah dikuburkan di Baqi atau di Makkah atau dimana, mereka berselisih sampai beliau mendatangkan hadits “aku mendengar sesuatu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang tidak aku lupakan bahwasanya para Anbiya’ mereka dikuburkan di mana mereka meninggal dunia”, di tempat dia meninggal dunia disitulah dikuburkan Nabi tersebut. Sehingga Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak dikuburkan di Baqi atau dibawa ke Makkah tempat kelahiran Beliau shallallahu 'alaihi wasallam, tapi dikuburkan di kamar a’isyah yang disitulah Beliau shallallahu 'alaihi wasallam meninggal dunia.
Lihat bagaimana ilmunya Abu Bakar Ash-Shiddiq, perkara-perkara yang besar yang mungkin hampir menjadi sebab pertikaian dan juga perpecahan akhirnya beliau selesaikan.
Dan lihat bagaimana beliau mengamalkan hadits, ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengirim pasukan Usamah tapi sebelum pasukan tadi dikirim Nabi shallallahu 'alaihi wasallam meninggal, ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq menjadi khalifah maka beliau melanjutkan rencana Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengirim pasukan Usamah sampai sebagian sahabat memberikan saran kepada Abu Bakar, jangan mengirim karena kita saat ini sedang butuh dengan pasukan, banyak orang-orang Arab Badui yang mereka murtad dari agama Islam setelah meninggalnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ada kemungkinan mereka akan menyerang kita di Madinah jangan kita keluarkan pasukan dari Madinah, itu pendapat sebagian sahabat.
Kata Abu Bakar demi Allah subhanahu wata'ala aku akan mengirim pasukan yang sudah direncanakan akan dikirim Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, akhirnya beliau radhiallahu ta’ala ‘anhu mengirim pasukan Usamah. Ketika pasukan Usamah berjalan bersama pasukannya, orang-orang Arab Badui mereka mendengar keluarnya pasukan Usamah kemudian mereka berpikir kalau mereka berani mengirimkan pasukan sebesar itu keluar dari Madinah berarti mereka sudah menyiapkan pasukan yang luar biasa di kota Madinah, akhirnya mereka pun tidak jadi menyerang kota Madinah.
Lihat bagaimana berkahnya mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, berarti Abu Bakar Ash-Shiddiq bukan hanya orang yang berilmu tapi beliau adalah orang yang beramal, makanya beliau adalah khalifatu rasyid, seorang khalifah yang rasyid. Demikian pula Umar Bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib mereka adalah orang-orang yang berilmu dan mengamalkan ilmu.
Kisah Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ta’ala ‘anhu yang beliau adalah rawi yang meriwayatkan hadits tentang dzikir yang disunahkan sebelum tidur yaitu Tasbih 33 kali kemudian Tahmid 33 kali Takbir 34 kali, beliau mendengar ini dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau menceritakan kepada muridnya aku tidak meninggalkan dzikir ini semenjak aku mendengarnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian ditanya
وَلاَ لَيْلَةَ صِفِّينَ؟
Engkau tidak meninggalkan ini sampai ketika engkau di malam shiffin?, yaitu malam terjadinya peperangan besar antara Ali Bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, tentunya seorang pemimpin saat itu di malam dan besok terjadi perang yang besar akan menyibukkan dirinya dengan banyak hal sampai mungkin dia meninggalkan sesuatu yang menjadi kebiasaan dia, tapi ternyata Ali Bin Abi Thalib apa jawaban beliau
وَلاَ لَيْلَةَ صِفِّينَ
Dan tidak pula di malam shiffin, aku tidak meninggalkan dzikir ini sampai di malam tersebut.
Ini satu diantara sekian banyak contoh bagaimana para Khulafaur Rasyidin mereka berilmu meskipun hanya sepele, masalah dzikir sebelum shalat mereka amalkan lalu bagaimana dengan perkara-perkara yang besar. Maka tidak heran kalau mereka disifati sebagai Al khulafa Ar Rasyidin.
Dan mereka adalah al-mahdiyyin, khulafah yang mendapatkan petunjuk. Oleh karena itu mengikuti mereka adalah kita mengikuti orang-orang yang mendapatkan petunjuk, Allah subhanahu wata'ala berikan ilmu kepada mereka, berikan petunjuk kepada mereka dan mereka adalah orang-orang yang mengikuti petunjuk, ditunjukkan oleh Allah subhanahu wata'ala jalan yang terang kemudian mereka mengikuti jalan yang terang tadi.
Maka kita mengikuti mereka kita berjalan di belakang mereka, jangan kita mengikuti orang-orang yang tidak mahdiy (tidak mendapatkan petunjuk) atau mengikuti orang-orang yang tidak rasyid (tidak mengamalkan ilmunya), berilmu dan tidak beramal jangan diikuti, kita mengikuti para Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyyin
مِنْ بَعْدِي
yang datang setelahku.
Dan sudah berlalu tentang aqidah ahlussunnah terhadap Khulafaur Rasyidin.