Halaqah 12: Penjelasan Pokok Ketiga Kitab Ushulussittah (Bagian 3)
Materi HSI pada halaqah ke-12 dari halaqah silsilah ilmiyyah abdullah roy bab Kitab Ushulussittah adalah tentang penjelasan pokok ketiga kitab Ushulussittah bagian 3. Para ulama menjelaskan apabila memang terjadi kekufuran yang sangat jelas dari seorang penguasa (dari seorang pemerintah), maka di sana ada syarat-syarat yang lain yang harus dipenuhi dan ini sebutkan oleh para ulama.
Apabila tidak terjadi di sana kerusakan yang lebih besar.
Apabila di sana justru terjadi kerusakan yang lebih besar, apabila seseorang memberontak karena pemerintahnya melakukan kekufuran, melakukan kekafiran yang jelas, apabila di sana justru terjadi kerusakan yang lebih besar maka diharamkan seseorang untuk memberontak. Ini disebutkan oleh para ulama di dalam kitab-kitabnya.
Dan kaum muslimin memiliki ganti yang lebih baik. Kalau misalnya bisa memberontak tetapi tidak memiliki ganti yang lebih baik, maka tidak diperbolehkan untuk melakukan pemberontakan. Dan juga syarat-syarat yang lain.
Para ulama telah ketat di dalam masalah ini dan perkara seperti ini dikembalikan kepada para ulama yang besar, para pembesar ulama, bukan hanya kepada seorang da’i, seorang ustadz, tetapi dikembalikan kepada ulama-ulama besar yang mereka mengetahui maslahat dan juga mudharat, mana yang baik dan mana yang buruk bagi kaum muslimin.
Dan dalīl yang lain yang menunjukkan tentang wajibnya mendengar dan taat kepada pemerintah adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, ” Bahwanya kita diperintahkan untuk mendengar dan taat kecuali apabila dia diperintahkan untuk kemaksiatan, apabila diperintahkan untuk berbuat maksiat maka tidak ada mendengar dan tidak ada ketaatan”
إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Kecuali apabila dia diperintahkan untuk kemaksiatan, apabila diperintahkan untuk berbuat maksiat maka tidak ada mendengar dan tidak ada ketaatan.” (HR Muslim 3423/1839)
اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا
Mendengarlah kalian dan taatlah kalian,
فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
Namun apabila diperintahkan untuk berbuat maksiat maka tidak ada mendengar dan tidak ada ketaatan.
Artinya di dalam perintah tersebut, pemerintah dan juga penguasa memiliki peraturan-peraturan, di antara peraturan tersebut ada yang sesuai dengan syar’iat Allah dan rasul Nya dan ada di antara peraturan tersebut yang tidak sesuai.
Yang sesuai dengan syar’iat Allah dan rasul Nya, maka kita diwajibkan untuk mendengar dan juga taat. Disebutkan oleh para ulama contohnya (misalnya) peraturan lalu lintas.
Kita diharuskan memiliki SIM, kita diharuskan untuk mengikuti rambu-rambu lalu lintas, dilarang parkir di sebuah tempat, apabila lampu berwarna merah maka harus berhenti, maka ini adalah peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk kemaslahatan bersama.
Pada asalnya ini adalah kewajiban kita sebagai rakyat untuk mendengar dan taat kepada penguasa tersebut di dalam peraturan-peraturan ini, karena peraturan-peraturan ini tidak bertentangan dengan syar’iat Allah dan juga rasul Nya.
Namun ketika membuat peraturan yang di situ ada kemaksiatan kepada Allah dan Rasul Nya maka tidak boleh seseorang untuk mendengar dan taat di dalam peraturan tersebut dan dia masih diwajibkan untuk mendengar dan taat didalam peraturan-peraturan tersebut sesuai dengan Al Quran dan hadīts Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam.
Kemudian beliau mengatakan وَقَدَرًا, demikian pula dari segi taqdir, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan baik dengan syar’iat maupun dengan taqdir.
Maksudnya dengan taqdir adalah dengan apa yang kita lihat, disekitar kita, kita bisa bedakan antara sebuah negara yang rakyatnya di situ mendengar dan taat kepada penguasanya, dengan sebuah negara yang rakyatnya tidak mendengar dan juga tidak taat kepada pemerintahnya.
Beda antara dua negara ini, negara yang rakyatnya melakukan ketaatan dan mendengar apa yang diperintahkan oleh pemerintah, maka kita dapatkan keamanan di dalam negara tersebut, ketenangan, nyaman rakyatnya di dalam melakukan berbagai kegiatan, baik kegiatan agama maupun kegiatan dunia, dengan leluasa mereka beribadah, melakukan haji setiap tahun, melakukan shalat lima waktu secara berjama’ah, mendirikan shalat hari raya, juga syar’iat-syar’iat yang lain.
Dan dengan leluasa mereka melakukan kegiatan dunia, berdagang, bepergian, karena rakyatnya mendengar dan taat kepada pemerintahnya.
Lain dengan sebuah negara yang di situ rakyatnya tidak mendengar dan tidak taat kepada pemerintah, keamanan tidak stabil, rakyatnya di dalam berbagai kegiatan mereka merasa tidak aman, baik ketika beribadah maupun dalam melakukan kegiatan-kegiatan dunia, banyak di antara mereka yang tidak bisa melaksanakan haji, takut untuk shalat berjama’ah, wanita yang muslimah takut untuk menggunakan jilbab dan juga perkara-perkara yang lain.
Beda antara sebuah negara yang rakyatnya taat kepada penguasa dengan sebuah negara yang rakyatnya tidak taat kepada penguasa.
Oleh itu beliau mengatakan: شَرْعًا وَقَدَرًا. “Baik secara syar’iat maupun taqdir”, taat kepada pemerintah adalah sesuatu yang sangat penting bagi seorang muslim.