Halaqah 24: Penjelasan Penutup Kitab Pembatal Keislaman (Bagian 1)
Materi HSI pada halaqah ke-24 dari halaqah silsilah ilmiyyah abdullah roy bab Kitab Nawaqidul Islam adalah tentang penjelasan penutup kitab pembatal keislaman bagian 1. Berkata Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah,
وَلَا فَرْقَ فِي جَمِيعِ هَذِهِ النَّوَاقِضِ بَيْنَ الهَازِلِ وَالجَادِّ وَالخَائِفِ إِلَّا المُكْرَه.
“Tidak ada bedanya di dalam pembatal-pembatal keislaman yang sepuluh ini antara orang yang bercanda, orang yang bersungguh-sungguh, dan orang yang takut, kecuali orang yang dipaksa.”
Telah berlalu penyebutan kisah orang munafik yang mengejek Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Dan dia menyebutkan bahwa ejekan dia dilakukan karena permainan saja. Namun ternyata yang demikian tidak bermanfaat dan dia tidak diberikan udzur.
Kalau yang bercanda saja dan main-main saja, dia keluar dari agama Islam, lalu bagaimana dengan orang yang sungguh-sungguh dan serius.
Orang yang ditimpa rasa takut dan kekhawatiran tapi tidak sampai keadaan dipaksa, tidak sampai diancam akan dibunuh atau disiksa, kemudian dia melakukan salah satu diantara pembatal keislaman, maka dia telah keluar dari agama Islam.
Seperti misalnya, seseorang yang mengaku sebagai seorang muslim, dia ikut mengejek Allah karena takut atasannya yang kafir padahal tidak ada paksaan.
Kemudian beliau mengatakan (rahimahullah),
إِلَّا المُكْرَه
“Kecuali orang yang terpaksa.”
Apabila dalam keadaan terpaksa, seseorang jika tidak mengucapkan ucapan yang kufur atau melakukan amalan yang kufur, maka dia akan dibunuh, akan disiksa dengan siksaan yang berat, kemudian dia mengucapkan ucapan yang kufur atau perbuatan yang kufur, maka dia tidak kafir. Tetapi disyaratkan hatinya harus dalam keadaan tenang dengan keimanan. Beriman kepada Allah, beriman kepada Rasul, dengan ayat-ayat-Nya.
Orang kafir bisa memaksa lisan dan juga amalan seseorang. Tetapi orang kafir tidak bisa memaksa hati. Allah Subhānahu wa Ta’āla mengatakan,
(مَن كَفَرَ بِٱللَّهِ مِنۢ بَعۡدِ إِیمَـٰنِهِۦۤ إِلَّا مَنۡ أُكۡرِهَ وَقَلۡبُهُۥ مُطۡمَىِٕنُّۢ بِٱلۡإِیمَـٰنِ وَلَـٰكِن مَّن شَرَحَ بِٱلۡكُفۡرِ صَدۡرࣰا فَعَلَیۡهِمۡ غَضَبࣱ مِّنَ ٱللَّهِ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِیمࣱ)
[Surat An-Nahl 106]
“Barangsiapa yang kufur setelah keimanannya, kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya dalam keadaan tenang dengan keimanan. Akan tetapi orang yang lapang dadanya dengan kekufuran, maka mereka mendapatkan kemarahan dari Allah dan mereka mendapatkan adzab yang besar.”
Ayat ini turun ketika Ammar bin Yasir dipaksa oleh orang-orang musyrikin untuk mencela Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Dan kita tahu bagaimana ujian besar yang menimpa keluarga Yasir.
Yasir (bapak beliau) dan Sumayyah (ibu beliau) telah mati syahid terlebih dahulu di tangan orang-orang musyrikin. Ammar bin Yasir pun mengucapkan ucapan yang kufur. Kemudian dalam keadaan menangis dan menyesal, beliau mendatangi Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Maka Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Bagaimana engkau mendapatkan hatimu?”
Beliau berkata, “Hatiku tenang dengan keimanan.”
Maka Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kalau mereka kembali (untuk memaksamu), maka kembalilah (lakukan seperti yang kamu lakukan sebelumnya).”