Halaqah 39: Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Tingkatan Iman dan Cabang-Cabangnya (Bagian 1)
Materi HSI pada halaqah ke-39 dari halaqah silsilah ilmiyyah abdullah roy bab Kitab Ushul Ats Tsalatsah adalah tentang landasan kedua ma'rifatu dinil islam bil adillah tingkatan iman dan cabang-cabangnya bagian 1.
Beliau rahimahullah mengatakan,
المرتبة الثانية: الإيمان
Tingkatan ke dua, yaitu diantara tiga tingkatan yang ada di dalam Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam adalah tentang الإيمان.
Al-Iman (الإيمان) adalah tingkatan yang ke-2 yang lebih tinggi daripada Al Islam. Dari sini kita mengetahui bahwasanya Iman sebagaimana Islam, terkadang maknanya adalah umum dan terkadang maknanya adalah khusus.
Adapun makna umum, maka seluruh apa yang ada di dalam agama ini adalah Iman, baik yang dhohir maupun yang bathin, baik berupa ucapan, keyakinan, atau amalan.
Iman menurut Ahlus Sunnah adalah,
الإيمان: اعتقاد بالجنان، وقول باللسان، وعمل بالأركان
“Keyakinan di dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan oleh anggota badan.”
Di sini kita sedang berbicara makna Iman secara umum. Seperti ketika Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam mengatakan,
الإِيمَانُ: بضع وسبعون شعبة
“Iman itu adalah 70 cabang lebih.”
Ini beliau sedang berbicara tentang Iman secara umum yang mencakup agama ini seluruhnya, baik yang diucapkan oleh lisan, diyakini di dalam hati, maupun yang dilakukan oleh anggota badan.
Kemudian di sana ada Iman dengan makna khusus yaitu, amalan-amalan yang bathin.
Contohnya adalah Hadits Jibril yang nanti akan disebutkan oleh pengarang di akhir pembahasan tentang masalah معرفة دين الإسلام بالإدلة.
Ketika beliau menyebutkan tingkatan Islam yang jumlahnya ada tiga: Islam, Iman, dan Ihsan.
Kira-kira Iman yang dimaksud oleh beliau di sini Iman dengan makna apa?
Iman dengan makna khusus. Darimana kita tahu?
Ketika Iman digandeng dan disandingkan dengan Islam, maka ia memiliki makna yang khusus.
Dia mewakili amalan-amalan yang bathin.
Adapun Islam karena dia datang, maka dia mewakili amalan-amalan yang dhohir.
Jadi ketika beliau menyebutkan Maratibu Al- Islam (مراتب الإسلام) yang jumlahnya ada 3, maka beliau memaksudkan Iman dalam arti khusus.
Kemudian beliau mengatakan,
وهو بضع وسبعون شعبة
“Dan Iman ini adalah 70 cabang lebih.”
Di sini beliau akan berbicara tentang Iman secara umum, ini dulu yang dibahas. Baru setelah itu beliau membahas tentang Iman secara khusus.
Iman secara umum ada 70 cabang lebih dan ini adalah lafadz yang ada di dalam dalil. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan juga Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam mengabarkan bahwasanya Iman itu ada 70 cabang lebih.
بضع
Bidh’un adalah jumlah antara 3 sampai 9.
بضع وسبعون
Bidh’un wa sab’una, berarti bilangan antara 73 sampai 79.
بضع و ستون
Bidh’un wa sittuna, berarti bilangan 63 sampai 69.
Di sana ada perbedaan di dalam riwayat. Dalam sebagian riwayat disebutkan بضع وسبعون شعبة (bidh’un wa sab’una syu’bah).
Di dalam riwayat lain بضع و ستون شعبة (bidh’un wa sittuna syu’bah).
Dan ada sebagian riwayat syak yaitu keraguan dari rawi, apakah di sana ada pertentangan?
Jawabannya, tidak.
Disebutkan oleh sebagian ulama bahwasanya penyebutan yang lebih kecil yaitu 60 bukan berarti dia menafikan yang lebih besar.
Ketika seseorang menyebutkan Iman itu ada 60 cabang, bukan berarti dia menafikan bahwasanya di sana ada lebih dari 60. Di sana ternyata ada 70, karena maksudnya adalah 60 cabang ini adalah termasuk keimanan dan tidak menafikan bahwasanya yang 10 itu bukan termasuk keimanan. Ini diucapkan oleh Al Imam An-Nawawi rahimahullah.
فان العرب قد تذكر للشيء عددا و لاتريد نفي ماسواه
Terkadang orang Arab menyebutkan sebuah bilangan dan dia tidak bermaksud untuk menafikan yang selain itu.
Dia hanya ingin mengitsbat (menetapkan) bahwasanya 60 ini adalah termasuk bagian dari keimanan dan bukan berarti dia menafikan yang selainnya.
Para ulama ketika mereka mendengar hadits Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam tentang jumlah cabang Iman. Maka sebagaimana kita ketahui ilmu yang mereka miliki, pengalaman mentadaburi, dan seterusnya tentunya memiliki dampak di dalam keyakinan mereka.
Sehingga ketika mereka mendengar Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam mengabarkan bahwasanya Iman ini ada 70 cabang lebih, maka tentunya di dalam hati mereka ada tashdiq, mereka yakin dengan seyakin-yakinnya bahwasanya kenyataan (hakikatnya) adalah seperti yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwasanya Iman adalah 70 cabang lebih.
Sehingga sebagian mereka, bukan karena syak, tapi justru ini adalah karena keyakinan.
Mereka ingin takkid (meyakinkan) bahwasanya jumlahnya adalah seperti yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam.
Akhirnya sebagian mereka membaca Al Qur’an dari awal sampai akhir.
Dan tentunya bukan ini saja, tapi ini merupakan ibadah rutin bagi para ulama, yaitu membaca Al Qur’an tapi dia niatkan sambil dia mentadabburi Al Qur’an, mengumpulkan cabang-cabang keimanan yang diisyaratkan oleh Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam.
Misalnya, mereka memulai dari Al Fatihah, mereka membaca apa yang termasuk cabang-cabang keimanan. Ayat demi ayat mereka baca. Kemudian sampai Al Baqarah misalnya. Allah mengatakan,
ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱلْغَيْبِ
“Mereka yang beriman kepada yang ghoib.”
Termasuk cabang keimanan adalah beriman dengan yang ghaib.
وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ
Termasuk cabang keimanan adalah mendirikan shalat.
وَمِمَّا رَزَقْنَـٰهُمْ يُنفِقُونَ
Termasuk cabang keimanan adalah berinfaq dan juga bershadaqah.
(QS. Al-Baqarah 3)
وَٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ وَمَآ أُنزِلَ مِن قَبۡلِكَ
Termasuk cabang keimanan adalah beriman dengan kitab.
Dan seterusnya,kemudian mereka menemukan tentang Jihad, Zakat, Birul walidain, Al – Ihsanillah Jarr, Al-Ihsanilladzil Qurba, Shaum, Al Hajj dan seterusnya sampai An-Naas, mereka hitung dan mereka tulis berapa cabang keimanan yang mereka dapatkan.