Halaqah 15: Beriman Kepada Sifat-Sifat yang Allah Subhanahu wata'ala Sandangkan pada Diri-Nya di Dalam Kitab-Nya dan Sifat-Sifat yang Rasul-Nya Sandangkan pada-Nya (Bagian 5)
Halaqah yang ke-15 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Kemudian beliau mengatakan
فَإنَّهُ أَعْلَمُ بِنَفْسِهِ وَبِغَيْرِهِ، وَأَصْدَقُ قِيلاً، وَأَحْسَنُ حَدِيثًا مِنْ خَلْقِهِ
Kemudian beliau menyebutkan kenapa kita harus berdasarkan dalil dalam menetapkan nama dan juga sifat Allah subhanahu wata’ala, kenapa harus kembali kepada Al-Qur’an, kenapa harus kembali kepada hadits, beliau sebutkan disini sebabnya. Kenapa kita kembali kesana dan kalau Allah subhanahu wata’ala sudah mengabarkan harus kita benarkan dan kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah mengabarkan maka harus kita benarkan ini jawabannya. Ini adalah sebab kenapa nama dan juga sifat Allah subhanahu wata’ala ini adalah tauqifiyyah.
Pertama
فَإنَّهُ أَعْلَمُ بِنَفْسِهِ وَبِغَيْرِهِ، وَأَصْدَقُ قِيلاً، وَأَحْسَنُ حَدِيثًا مِنْ خَلْقِهِ
Karena sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala Dia-lah yang lebih tahu tentang diri-Nya dan yang lain. Siapa yang lebih tahu tentang diri Allah subhanahu wata’ala, apakah ada yang lebih tahu tentang diri Allah subhanahu wata’ala daripada Allah subhanahu wata’ala, jawabanya tidak.
قُلۡ ءَأَنتُمۡ أَعۡلَمُ أَمِ ٱللَّهُۗ
[Al Baqarah:140]
Katakanlah apakah kalian lebih tahu atau Allah subhanahu wata’ala yang lebih tahu. Allah subhanahu wata’ala Dia-lah yang lebih tahu tentang diri-Nya sendiri dan juga perkara-perkara yang lain, tidak ada yang lebih mengetahui dari pada Allah subhanahu wata’ala
وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ
[Al Baqarah:282]
Dan Allah subhanahu wata’ala Dia-lah yang mengetahui segala sesuatu.
Ketika dia mengabarkan tentang diri-Nya, bahwasanya Dia memiliki sifat demikian, bagaimana seseorang ragu dengan kabar yang Allah subhanahu wata’ala kabarkan, padahal Dia-lah yang mengetahui tentang sifat-sifat diri-Nya daripada yang lain, itu yang pertama.
Kemudian
وَأَصْدَقُ قِيلاً
Dan Allah subhanahu wata’ala adalah yang paling benar ucapan-Nya, yang paling jujur ucapan-Nya, yang sesuai dengan kenyataan. Allah subhanahu wata’ala mengatakan
وَمَنۡ أَصۡدَقُ مِنَ ٱللَّهِ قِيلٗا
[An-Nisa’:122]
وَمَنۡ أَصۡدَقُ مِنَ ٱللَّهِ حَدِيثٗا
[An-Nisa’:87]
Dan siapakah yang lebih benar ucapannya daripada Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala tidak berdusta dan untuk apa Allah subhanahu wata’ala berdusta.
Dusta ini muncul dari orang yang takut, anak misalnya dia takut kepada orang tuanya, dusta. Adapun Allah subhanahu wata’ala tidak ada yang Allah subhanahu wata’ala takuti. Ketika Allah subhanahu wata’ala mengabarkan demikian maka itu adalah kebenaran yang nyata yang harus kita imani, yang harus kita percayai, yang harus kita yakini, apakah kita meyakini bahwasanya Allah subhanahu wata’ala bohong dalam ucapannya, na’udzubillah. Kita harus benarkan, kita imani dan kita benarkan apa yang Allah subhanahu wata’ala ucapkan, amiruha kama ja’ats, lakukan ini dan jalankan itu sebagaimana datangnya, jangan kita dustakan, jangan kita ke mana-manakan.
Kemudian yang ketiga
وَأَحْسَنُ حَدِيثًا مِنْ خَلْقِه
Dan lebih baik ucapan-Nya, yaitu lebih fasih ucapan-Nya. Allah subhanahu wata’ala menggunakan kata-kata di dalam Al-Qur’an dengan kata-kata yang paling fasih, yang paling jelas, sehingga tidak perlu di takwil atau dicari mungkin tafsir bathilnya, itu adalah َأَحْسَنُ حَدِيث, Allah subhanahu wata’ala mengatakan
ٱللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ ٱلْحَدِيثِ كِتَٰبًا
Allah subhanahu wata’ala menurunkan kitab yang paling baik, yang paling fasih, yang paling jelas, tidak ada yang lebih fasih daripada ucapan Allah subhanahu wata’ala. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan
فَإن أحسن الْحَدِيثِ كتاب الله
Sesungguhnya ucapan yang paling baik adalah kitabullah, dan didalam sebagian lafadz beliau mengatakan
فَإن أصدق الْحَدِيثِ كتاب الله وخير الهدي
Yang paling benar ucapannya adalah Al-Qur’an, berarti dalam kitabullah (Al-Qur’an) terkumpul kabar yang berasal dari Allah subhanahu wata’ala, Dia-lah yang A’lam (yang paling mengetahui), Dia-lah yang paling asdaq (yang paling benar ucapannya) dan Dia-lah yang paling baik, yang paling fasih ucapan-Nya. Dan kalau dalam sebuah kabar terkumpul tiga perkara ini tidak ada alasan sedikitpun bagi orang yang mendengarnya untuk mengingkari/mendustakan.
Contoh misalnya dalam kehidupan sehari-hari kalau kita mengenal seseorang, dia orangnya adalah pintar secara keilmuan kita mengakui tapi dia tidak jujur. Ada orang pintar tapi dia tidak jujur, mengabarkan sesuatu kepada kita apakah kita berhak untuk tidak membenarkan apa yang dia ucapkan, ya berhak, kenapa, karena dia dikenal sebagai orang yang pembohong meskipun dia pintar. Kalau misalnya ada orang yang pintar, dia jujur, tapi dia dikenal kadang salah salah dalam mengabarkan sesuatu, tidak jelas ketika dia berbicara, terbalik-balik ucapannya, apakah ketika dia mengabarkan kepada kita dengan sebuah kabar kita berhak untuk tidak percaya, jawabannya berhak, kita tidak meragukan tentang kepandaian dia, kita tidak meragukan tentang kejujurannya tapi dikawatirkan ini dia salah dalam berbicara.
Tapi ketika terkumpul dalam sebuah kabar, berasal dari orang yang mengabarkan adalah orang yang berilmu, dan orang yang mengabarkan adalah orang yang jujur, dan dia adalah orang yang jelas dalam pembicaraan maka di sini tidak ada udzur bagi kita untuk tidak menerima kabar tadi. Lalu bagaimana kalau ini yang mengabarkan adalah Allahu rabbul ‘alamin, bagaimana kita mendustakan sifat yang Allah subhanahu wata’ala kabarkan didalam Al-Qur’an. Ini adalah alasan kenapa kita harus kembali kepada kitabullah dalam menentukan sifat Allah subhanahu wata’ala.
Kemudian beliau mengatakan
ثُمَّ رُسُلُه صَادِقُونَ مُصَدَّقُون
Kemudian para Rasul-Nya, mereka adalah صَادِقُون, mereka juga adalah orang-orang yang jujur, mereka adalah utusan-utusan Allah subhanahu wata’ala yang صَادِق. Di antara sekian banyak manusia, tidak ada yang lebih ashdaq daripada para Rasulullah. مُصَدَّقُون, dan mereka adalah orang-orang yang dibenarkan ucapannya.
بِخِلاَفِ الَّذِينَ يَقُولُونَ عَلَيْهِ مَا لاَ يَعْلَمُونَ
Berbeda dengan orang-orang yang berbicara atas nama Allah subhanahu wata’ala tanpa ilmu. Jadi mereka ini para Rasul adalah orang yang shodiq, tidak ada orang yang lebih jujur daripada mereka dan mereka adalah orang yang berbicara dengan ilmu.
Berarti terkumpul didalam kabar mereka mereka, bahwasanya mereka adalah orang yang jujur dan mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui tentang Allah subhanahu wata’ala. Tidak ada yang lebih mengetahui tentang diri Allah subhanahu wata’ala daripada para rasul-Nya, demikian pula Allah subhanahu wata’ala telah memberikan kepada mereka kefasihan didalam berbicara.
وَلِهَذَا قَالَ: سُبْحَانَ
Oleh karena itu Allah subhanahu wata’ala mengatakan, yaitu memuji para rasul
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ
Maha Suci Rabbmu, رَبِّ الْعِزَّةِ Rabb dari kemuliaan, Al-’Izzah ini adalah sifat Allah subhanahu wata’ala dan disini ada idhafah (penyandaran) Al-’Izzah kepada Allah subhanahu wata’ala, Al-’Izzah disini adalah sifat Allah subhanahu wata’ala diantara sifat-sifat-Nya. عَمَّا يَصِفُون, dari apa yang disifatkan oleh mereka, yaitu orang-orang yang mensifatkan Allah subhanahu wata’ala dengan sifat-sifat yang tidak baik, maha suci Allah subhanahu wata’ala dari apa yang mereka sifatkan.
وَسَلامٌ عَلَى الْمُرْسَلِين
Dan keselamatan bagi orang-orang yang diutus, yaitu para Rasul
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Segala puji bagi Allah subhanahu wata’ala Rabb semesta alam.
Kenapa beliau mendatangkan ayat ini, beliau jelaskan disini
فَسَبَّحَ نَفْسَهُ عَمَّا وَصَفَهُ بِهِ الْمُخَالِفُونَ لِلرُّسُل
Maka Allah subhanahu wata’ala mensucikan diri-Nya dari sifat-sifat yang disematkan oleh orang-orang yang menyelisihi para rasul yang mensifati Allah subhanahu wata’ala dengan sifat-sifat yang tidak baik. Orang-orang yahud misalnya mensifati Allah capek dan bahwasanya Allah bakhil, bahwasanya Allah faqir, Maha suci Allah subhanahu wata’ala dari apa yang mereka katakan
وَسَلَّمَ عَلَى الْمُرْسَلِينَ
Kemudian Allah subhanahu wata’ala mengucapkan salam untuk para Rasul, salam artinya adalah keselamatan. Kenapa Allah subhanahu wata’ala mengatakan keselamatan atas para rasul
لِسَلاَمَةِ مَا قَالُوهُ مِنَ النَّقْصِ وَالْعَيْبِ
Karena selamatnya ucapan para rasul dari kekurangan. Kenapa kita membenarkan apa yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena kalau Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berbicara tentang sifat Allah subhanahu wata’ala, ketahuilah bahwasanya itu adalah ucapan yang salim, yaitu adalah ucapan yang selamat, ucapan yang tidak ada kekurangan dan tidak ada kebohongan di dalamnya, itu adalah ucapan yang fasih yang paling sempurna kejelasannya dan kefasihan, itu adalah ucapan yang berdasarkan ilmu sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk tidak membenarkan sifat Allah subhanahu wata’ala yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Berarti disini kita mengetahui kenapa kita kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits dalam masalah menetapkan sifat-sifat Allah subhanahu wata’ala.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Al Aqidah Al Wasithiyyah]