Materi 56: Ahlus Sunnah Melarang Memakai Jimat
Kata tamaa-im adalah bentuk jamak dari tamimah, yaitu sesuatu jimat yang dikalungkan di leher atau bagian dari tubuh seseorang yang bertujuan mendatangkan manfaat atau menolak mudharat, baik kandungan jimat itu adalah Al-Qur-an, atau benang atau kulit atau kerikil dan semacamnya. Orang-orang Arab biasa menggunakan jimat bagi anak-anak mereka sebagai perlindungan dari sihir atau guna-guna dan semacamnya.
Jimat terbagi menjadi dua macam:
“Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang, kemudian beliau bersabda: ‘Jangan sisakan satu kalung pun yang digantung di leher unta melainkan kalungnya harus dipotong.’”[HR. Al-Bukhari (no. 3005) dan Muslim (no. 2115)]
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‘Sesungguhnya jampi, jimat dan tiwalah adalah syirik.’”[HR. Abu Dawud (no. 3883), Ibnu Majah (no. 3530), Ahmad (I/381) dan al-Hakim (IV/417-418)]
Tiwalah adalah sesuatu yang digunakan oleh wanita untuk merebut cinta suaminya (pelet) dan ini dianggap sebagai sihir.
Jimat diharamkan oleh syari’at Islam karena ia mengandung makna keterkaitan hati dan tawakkal kepada selain Allah, dan membuka pintu bagi masuknya keperacayaan-kepercayaan yang rusak tentang berbagai hal yang ada pada akhirnya menghantarkan kepada syirik besar.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa menggantungkan jimat, maka ia telah melakukan syirik.”[HR. Ahmad (IV/156), al-Hakim (IV/417)]
Jimat terbagi menjadi dua macam:
Pertama: Yang tidak bersumber dari Al-Qur-an.
Inilah yang dilarang oleh syari’at Islam. Jika ia percaya bahwa jimat itu adalah subjek atau faktor yang berpengaruh, maka ia dinyatakan musyrik dengan tingkat syirik besar. Tetapi jika ia percaya bahwa jimat hanya menyertai datangnya manfaat atau mudharat, maka ia dinyatakan telah melakukan syirik kecil. Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Shahiihul Bukhari dari Sahabat Abu Basyir al-Anshari bahwa beliau pernah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu perjalanan, lalu ia berkata:فَأَرْسَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَسُوْلاً: لاَ تَبْقَيَنَّ فِي رَقَبَةِ بَعِيْرٍ قِلاَدَةٌ مِنْ وَتَرٍ -أَوْ قِلاَدَةٌ- إِلاَّ قُطِعَتْ.
“Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang, kemudian beliau bersabda: ‘Jangan sisakan satu kalung pun yang digantung di leher unta melainkan kalungnya harus dipotong.’”[HR. Al-Bukhari (no. 3005) dan Muslim (no. 2115)]
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ.
‘Sesungguhnya jampi, jimat dan tiwalah adalah syirik.’”[HR. Abu Dawud (no. 3883), Ibnu Majah (no. 3530), Ahmad (I/381) dan al-Hakim (IV/417-418)]
Tiwalah adalah sesuatu yang digunakan oleh wanita untuk merebut cinta suaminya (pelet) dan ini dianggap sebagai sihir.
Jimat diharamkan oleh syari’at Islam karena ia mengandung makna keterkaitan hati dan tawakkal kepada selain Allah, dan membuka pintu bagi masuknya keperacayaan-kepercayaan yang rusak tentang berbagai hal yang ada pada akhirnya menghantarkan kepada syirik besar.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ عَلَّقَ تَمِيْمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ.
“Barangsiapa menggantungkan jimat, maka ia telah melakukan syirik.”[HR. Ahmad (IV/156), al-Hakim (IV/417)]
Kedua: Yang bersumber dari Al-Qur-an.
Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat, yaitu ada sebagian yang membolehkan dan ada yang mengharamkannya. Pendapat yang kuat adalah pendapat yang kedua, yaitu yang mengharamkannya.Karena dalil yang mengharamkan jimat menyatakannya sebagai perbuatan syirik dan tidak membedakan apakah jimat berasal dari Al-Qur-an atau bukan dari Al-Qur-an. Dengan membolehkan jimat dari ayat Al-Qur-an, sebenarnya kita telah membuka peluang menyebarnya jimat dari jenis pertama yang jelas-jelas haram. Maka, sarana yang dapat mengantar kepada perbuatan haram mempunyai hukum haram yang sama dengan perbuatan haram itu sendiri. Ia juga menyebabkan tergantungnya hati kepadanya, sehingga pelaku-nya akan ditinggalkan oleh Allah dan diserahkan kepada jimat tersebut untuk menyelesaikan masalahnya.
Selain itu, pemakaian jimat dari Al-Qur-an juga mengandung unsur penghinaan terhadap Al-Qur-an, khususnya di waktu tidur dan ketika sedang buang hajat atau sedang berkeringat dan semacamnya. Hal semacam itu tentu saja bertentangan dengan kesucian dan kesakralan Al-Qur-an. Selain itu juga, jimat ini dapat pula dimanfaatkan oleh para pembuatnya untuk menyebarkan kemusyrikan dengan alasan jimat yang dibuatnya dari Al-Qur-an.
Ibrahim an-Nakha’i (wafat th. 96 H) rahimahullah berkata: “Mereka membenci jimat, baik yang berasal dari Al-Qur-an maupun yang bukan dari Al-Qur-an.” Maksudnya, itu ijma’ ulama Salaf dalam mengharamkan jimat secara keseluruhan.
Sa’id bin Jubair (wafat th. 95 H) rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang memotong sebuah jimat dari seseorang, maka pahalanya sama dengan memerdekakan seorang budak.” Perkataan seperti ini tentu saja tidak akan diucapkan tanpa dasar wahyu yang jelas. Sehingga ucapan ini dapat dianggap sebagai hadits mursal, atau hadits yang diriwayatkan oleh seorang Tabi’in dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menyebutkan nama Sahabat, dan ia termasuk seorang pembesar Tabi’in. Maka, hadits mursal semacam ini menjadi hujjah bagi yang menjadikannya sebagai dalil.
Wallaahu a’lam bish shawaab.
***
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas]
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Referensi:
Ibrahim an-Nakha’i (wafat th. 96 H) rahimahullah berkata: “Mereka membenci jimat, baik yang berasal dari Al-Qur-an maupun yang bukan dari Al-Qur-an.” Maksudnya, itu ijma’ ulama Salaf dalam mengharamkan jimat secara keseluruhan.
Sa’id bin Jubair (wafat th. 95 H) rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang memotong sebuah jimat dari seseorang, maka pahalanya sama dengan memerdekakan seorang budak.” Perkataan seperti ini tentu saja tidak akan diucapkan tanpa dasar wahyu yang jelas. Sehingga ucapan ini dapat dianggap sebagai hadits mursal, atau hadits yang diriwayatkan oleh seorang Tabi’in dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menyebutkan nama Sahabat, dan ia termasuk seorang pembesar Tabi’in. Maka, hadits mursal semacam ini menjadi hujjah bagi yang menjadikannya sebagai dalil.
Wallaahu a’lam bish shawaab.
***
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas]
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Referensi:
- Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah
- Fathul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid.