Halaqah 75: Dalil yang Menunjukkan Sifat Istiwa Allah Subhanahu wata'ala (Bagian 3)
Halaqah yang ke-75 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Pembahasan sifat Istiwa bagi Allah subhanahu wata'ala, beliau mengatakan
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
Kemudian Allah subhanahu wata'ala beristiwa di atas Arsy
فِي ستّة مَوَاضِعَ
di dalam enam tempat yaitu di dalam Al-Qur’an, artinya di dalam Al-Qur’an dengan lafadz seperti ini ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ (kemudian Allah subhanahu wata'ala beristiwa di atas Arsy), yang dimaksud dengan enam tempat tadi yang pertama adalah di dalam surat Al-A’raf ayat yang ke 54
إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ
Sesungguhnya Robb kalian yang menciptakan langit dan juga bumi dalam enam hari, yang dimaksud dengan hari disini adalah hari yang kita ketahui yang jumlahnya ada tujuh, dan penciptaan langit dan juga bumi dimulai pada hari Ahad dan diakhiri pada hari Jum’at, kemudian setelah itu ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ (kemudian Allah subhanahu wata'ala beristiwa di atas Arsy). Ini ayat yang Allah subhanahu wata'ala sebutkan di dalam surat Al-A’raf
Kemudian yang kedua di dalam surat Yunus, Allah subhanahu wata'ala mengatakan
إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ
Sesungguhnya Allah subhanahu wata'ala Robb kalian Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi di dalam enam hari kemudian Allah subhanahu wata'ala beristiwa di atas Arsy.
Yang ketiga dalam surat Ar-Ra’d ayat yang kedua
ٱللَّهُ ٱلَّذِي رَفَعَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ بِغَيۡرِ عَمَدٖ تَرَوۡنَهَاۖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ
kemudian Allah subhanahu wata'ala beristiwa di atas Arsy.
Kemudian ayat yang ke empat surat Al-Furqon ayat yang ke 59 Allah subhanahu wata'ala mengatakan
ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ وَمَا بَيۡنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ
Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam hari kemudian Allah subhanahu wata'ala beristiwa diatas Arsy.
As-Sajdah ayat yang ke empat
ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ وَمَا بَيۡنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ
Surah Al-Hadid ayat yang ke 4
هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ
Inilah yang dimaksud oleh Syaikhul Islam didalam ucapan beliau
فِي ستّة مَوَاضِعَ
di dalam enam tempat di dalam Al-Qur’an dengan lafadz yang sama
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
Para ulama menjelaskan pengulangan sampai enam kali di dalam Al-Qur’an artinya bukan perkara biasa tapi ini ada faedahnya, yang pertama adalah untuk taukid (menguatkan), menguatkan bahwasanya Allah subhanahu wata'ala benar-benar memiliki sifat istiwa sampai di ulang oleh Allah subhanahu wata'ala enam kali dengan lafadz yang sama dan ثُمَّ ini adalah untuk tarakhi untuk menunjukkan adanya senggang, Allah subhanahu wata'ala menciptakan langit dan bumi dan diantara keduanya dalam 6 hari ‘kemudian’ Allah subhanahu wata'ala beristiwa.
Dan ini menunjukkan bahwasanya sifat istiwa ini adalah fi’liyyah khobariyah, kenapa dinamakan sifat fi’liyyah karena dia berkaitan dengan masyiatullah dengan kehendak Allah ثُمَّ اسْتَوَى kemudian Allah subhanahu wata'ala beristiwa berarti di sana ada kehendak Allah subhanahu wata'ala untuk beristiwa, dan dia adalah sifat khobariyah karena tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil, harus ada dalilnya, sehingga dia adalah sifat khobariyah.
Kemudian juga di antara faedah dari pengulangan lafadz ini sampai enam kali ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ selain dia adalah menguatkan juga untuk menafikan majas, kalau majas maka tidak mungkin diulang-ulang sampai enam kali, ini seandainya kita menerima adanya majas, seandainya, maka diulang-ulang 6 kali ini menunjukkan bahwasanya tidak ada majas didalam sifat ini, ini adalah sifat istiwa haqiqi sesuai dengan keagungan Allah subhanahu wata'ala
Disana ada orang yang mereka mentakwil sifat istiwa ini dengan beberapa takwilan, di antaranya adalah mentakwil istiwa dengan istila atau mengatakan bahwasanya istawa di sini adalah al-qasdu yaitu bermaksud, kemudian mereka mengatakan bahwasanya kenapa ditakwil, karena kalau kita mensifati Allah subhanahu wata'ala dengan istiwa berarti Allah subhanahu wata'ala membutuhkan Arsy sebagaimana seorang penunggang unta misalnya ketika dia beristiwa di atas unta berarti dia membutuhkan unta ketika unta tadi jatuh maka dia pun jatuh, ini di antara hujjah mereka.
Maka kita katakan yang pertama bahwasanya menafsirkan istiwa dengan istila ini tidak ada dalam bahasa Arab istawa dengan makna istaula, istawa adalah ‘ala wartafa’a washa’ada wastaqarr dan tidak ada di antara makna istiwa adalah istaula, lalu dari mana mereka mendatangkan makna ini. Ada yang mengatakan bahwasanya mereka berdalil dengan sebuah syair, disebutkan dalam syair tersebut
قَدْ اسْتَوَى بِشْرٌ عَلَى الْعِرَاقِ مِنْ غَيْرِ سَيْفٍ أَوْ دَمٍ مِهْرَاقِ
Bisyr yaitu Bisyr Bin Marwan telah beristiwa di atas Iraq, maksudnya adalah menguasai Iraq istaula yaitu sudah menguasai tanpa memakai pedang dan tanpa menumpahkan darah, ini yang dijadikan pegangan oleh sebagian yang mentakwil istawa dengan istaula.
Kita katakan bahwasanya ini adalah syair yang tidak bersanad, tidak jelas asal-usulnya dari mana syair ini dan dikhawatirkan ini adalah dibuat oleh orang-orang ajam yang mereka sudah rusak bahasanya sehingga tidak bisa dijadikan dalil bahwasanya istawa maknanya adalah istaula.
Kemudian ucapan mereka bahwasanya kalau kita menetapkan istiwa bagi Allah subhanahu wata'ala berarti Allah subhanahu wata'ala butuh dengan Arsy dan ini adalah ucapan yang bathil, tidak mengharuskan bahwasanya ketika Allah subhanahu wata'ala beristiwa di atas Arsy Allah subhanahu wata'ala membutuhkan Arsy, ketika mereka mengatakan seperti kalau makhluk yang beristiwa di atas unta maka dia membutuhkan unta kita katakan ini adalah istiwanya makhluk, dan sudah kita katakan dari awal istiwanya Allah subhanahu wata'ala berbeda dengan istiwanya makhluk.
Kalau istiwanya makhluk iya, yang namanya makhluk membutuhkan sesuatu yang istiwa di atasnya raja dia membutuhkan arsy nya, seorang penunggang dia membutuhkan hewan tunggangannya, iya itu adalah istiwa-istiwa makhluk tapi ketika Allah subhanahu wata'ala beristiwa maka istiwa Allah subhanahu wata'ala adalah sesuai dengan keagungannya, Allah subhanahu wata'ala tidak butuh dengan Arsy bahkan Arsy dialah yang membutuhkan Allah subhanahu wata'ala, maka di mana di sini bentuk tasybih, dimana bentuk kita menyerupakan Allah subhanahu wata'ala dengan makhluk.
Kemudia ketika mereka mentakwil istawa dengan istaula, apa makna istaula di dalam bahasa Arab maknanya adalah menguasai setelah sebelumnya dia tidak menguasai, contoh misalnya Bisyr tadi tidak menguasai Iraq sebelumnya kemudian setelah itu dia istaula, berarti sebelumnya dia tidak menguasai Iraq kemudian setelah itu dia menguasai Iraq ini dinamakan dengan istaula.
Ketika kita mentakwil istawa dengan istaula benarkah kita mengatakan bahwasanya Allah subhanahu wata'ala sebelumnya tidak menguasai Arsy, kalau dia mengatakan benar maka ini kekufuran, Allah subhanahu wata'ala Dia-lah yang menguasai segala sesuatu, jadi ini adalah pendapat ucapan yang meladzimkan keladziman yang bathil, dan keladziman yang bathil menunjukkan tentang bathilnya ucapan tadi, makanya dikatakan
فسادُ اللازم دليل على فسادِ الملزوم
Keladziman yang bathil itu menunjukkan kebatilan malzumnya, menunjukkan bahwasanya pendapat tadi adalah pendapat yang bathil karena keladzimannya adalah keladziman yang bathil.
Demikian pula kalau kita mengatakan istawa disini maknanya adalah menguasai berarti boleh kita mengatakan Allah subhanahu wata'ala beristiwa di atas bumi, Allah subhanahu wata'ala beristiwa di atas langit, Allah subhanahu wata'ala beristiwa di atas gunung, karena Allah subhanahu wata'ala menguasai semuanya, Allah subhanahu wata'ala menguasai Arsy, Allah subhanahu wata'ala menguasai bumi, Allah subhanahu wata'ala menguasai gunung, Allah subhanahu wata'ala menguasai langit, kenapa tidak boleh kita mengatakan Allah subhanahu wata'ala beristiwa diatas itu semuanya, berarti di sini tidak ada bedanya antara arsy dengan yang lain.
Oleh karena itu kita katakan bahwasanya pendapat yang mengatakan bahwasanya istawa maknanya adalah istaula ini adalah pendapat yang bathil tidak sesuai dengan dalil dan bertentangan dengan mazhab salafus sholeh.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Al Aqidah Al Wasithiyyah]