Materi 40: Al-Wa’du dan Al-Wa’iid
Al-Wa’du (الْوَعْدُ), yaitu nash-nash (Al-Qur-an dan As-Sunnah) yang mengandung janji Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada orang yang taat dengan ganjaran yang baik, pahala dan Surga.
Adapun yang dimaksud dengan al-Wa’iid (الْوَعِيْدُ), yaitu nash-nash yang terdapat padanya ancaman bagi orang-orang yang berbuat maksiat dengan adzab dan siksaan yang pedih.
Keyakinan Ahlus Sunnah mengenai al-Wa’du dan al-Wa’id sebagai berikut:
Ahlus Sunnah mengimani nash-nash al-Wa’du (janji yang baik, Surga) dan al-Wa’id (ancaman, tentang siksaan Neraka). Mereka menetapkan dan mengimaninya sebagaimana apa adanya dalam nash-nash tersebut dan tidak mentakwil.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [An-Nisaa/4: 48]
Ahlus Sunnah meyakini bahwa tidak ada seorang pun yang mengetahui tentang akhir dari kehidupan seorang hamba, akan tetapi orang yang menampakkan kekufuran yang besar, maka ia akan dihukum dengan apa yang ia lakukan dan diperlakukan sebagaimana bermu’amalah dengan orang kafir.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang akhir kehidupan seseorang:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ، فِيْمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ، وَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ، فِيْمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ، وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ.
“Sesungguhnya seseorang mengamalkan amalan ahli Surga menurut apa yang tampak bagi manusia padahal ia termasuk ahli Neraka, dan seseorang mengamalkan amalan ahli Neraka menurut apa yang tampak bagi manusia padahal dia termasuk ahli Surga.”[HR. Al-Bukhari (no. 2898, 4203, 4207), Muslim (no. 112 (179) Kitaabul Iimaan dan no. 2651 (12) Kitaabul Qadar) dan Ahmad (V/332)]
Dalam hadits riwayat al-Bukhari di atas terdapat tambahan, yaitu:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيْمِ.
“Sesungguhnya seluruh amal perbuatan itu ditentukan berdasarkan akhirnya.”[HR. Al-Bukhari (no. 6493) Kitaabur Riqaaq pada bab al-A’maal bil Khawaatiim wa Yukhaafu minha dan (no. 6607) Kitaabul Qadar, bab al-‘Amaal bil Khawaatiim]
Ahlus Sunnah tidak memastikan seorang pun bahwa mereka sebagai ahli Surga atau Neraka kecuali yang sudah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka meyakini bahwa orang yang mati dalam keadaan Islam, beriman, beramal shalih dan bertaqwa akan dimasukkan ke dalam Surga, dengan dasar ayat-ayat dan hadits-hadits shahih.
Allah Ta’ala berfirman:
وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan Surga-Surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya…” [Al-Baqarah/2: 25][Lihat juga surat al-Qamar/54: 54-55, al-Mursalaat/77: 41-44, dan yang lainnya]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ مَاتَ لاَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ.
“Barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia akan masuk Surga, dan barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan menyekutukan Allah dengan sesuatu, maka dia akan masuk Neraka.”[HR. Muslim (no. 93 (151))]
Ahlus Sunnah mempersaksikan tentang sepuluh orang yang dijamin masuk Surga sebagaimana yang disaksikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga Sahabat-Sahabat lainnya yang dijamin masuk Surga seperti isteri-isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Ukkasyah bin Mihshan: ‘Abdullah bin Salam, dan yang lainnya.[Lihat pembahasan ke-49 mengenai pembahasan: Ahlus Sunnah Memuliakan Para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, halaman 407]
Ahlus Sunnah meyakini bahwasanya orang-orang kafir, musyrikin dan munafiqin adalah ahli Neraka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ أُولَٰئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke Neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” [Al-Bayyinah/98: 6]
وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni Neraka; mereka kekal di dalamnya.” [Al-Baqarah/2: 39]
Juga firman-Nya:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari Neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” [An-Nisaa/4: 145]
Ahlus Sunnah menetapkan orang-orang yang dipastikan masuk Neraka dengan dasar ayat-ayat Al-Qur-an dan hadits-hadits yang shahih, seperti Abu Lahab (‘Abdul ‘Uzza bin ‘Abdil Muththalib), dan isterinya (Ummu Jamil Arwa bintu Harb), serta yang lainnya.
Ahlus Sunnah meyakini bahwa Surga tidak dipastikan kepada seseorang pun walaupun amal perbuatannya baik, kecuali Allah memberikan kepadanya keutamaan dan rahmat, maka ia akan dimasukkan ke dalam Surga dengan sebab rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَىٰ مِنكُم مِّنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَن يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Sekiranyabukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [An-Nuur/24: 21]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، قَالُوْا: وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: وَلاَ أَنَا، إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ مِنْهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ.
“Tidaklah seseorang di antara kalian dimasukkan ke dalam Surga karena amalannya.” Para Sahabat bertanya: “Dan tidak juga engkau, Ya, Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ya, tidak juga aku, kecuali Allah meliputiku dengan keutamaan serta rahmat-Nya.” [HR. Al-Bukhari (no. 5673, 6463), Muslim (no. 2816 (75)) dan Ahmad (II/264)]
Ahlus Sunnah tidak memastikan adzab bagi setiap orang yang diancam dengan siksaan (kecuali bagi orang yang mengerjakan kekufuran). Karena bisa jadi Allah mengampuni dengan sebab ketaatannya, taubatnya, musibah-musibah yang dialaminya dan sakit yang dapat menghapuskan dosa-dosanya dan yang lainnya.[10]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang.’” [Az-Zumar/39: 53]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini bahwa setiap makhluk mempunyai ajal kematian. Dan setiap yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allah sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Apabila telah datang ajalnya, maka tidak dapat ditangguhkan dan disegerakan sesaat pun juga. Maka sesungguhnya kematiannya akan datang pada waktu yang telah ditentukan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَن تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُّؤَجَّلًا
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya….” [Ali ‘Imran/3: 145][Lihat juga Al-A’raaf/7 : 34, Yunus/10 : 49 dan al-Munafiquun/63 : 11]
***
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas]
————————————————————————————————————————
Referensi:
- Kitab al-Wajiiz fii ‘Aqiidatis Salafish Shalih.
- Kitab Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 126) oleh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan.
- Kitab Majmuu’ Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (VII/487-501) dan al-Wajiiz fii ‘Aqiidatis Salafish Shaalih (hal. 135).