Halaqah 117: Beriman Kepada Hari Akhir dengan Pembahasan tentang Mizan
Halaqah yang ke-117 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Setelah beliau menyebutkan tentang bahwa diantara beriman dengan hari akhir adalah beriman bahwa manusia akan dikumpulkan oleh Allah subhanahu wata'ala setelah dibangkitkan dari kuburnya dikumpulkan di sebuah tempat dalam keadaan tidak memakai alas kaki dalam keadaan tidak memakai pakaian dalam keadaan tidak berkhitan dan akan didekatkan matahari kepada manusia kemudian manusia mereka berkeringat dan keringat mereka sesuai dengan dosa yang mereka lakukan di dunia, maka diantara hal yang termasuk harus kita imani dan ini berkaitan dengan iman dengan hari akhir adalah beriman dengan mizan yaitu beriman dengan adanya timbangan amal di hari kiamat.
Disebutkan oleh muallif disini karena disana ada kelompok yang mereka tidak percaya denga adanya timbangan amal di hari kiamat sebabnya sama karena mereka mendahulukan akal di atas dalil, bagaimana amalan bisa ditimbang? buah-buahan beras besi ini bisa ditimbang adapun amalan bagaimana dia bisa ditimbang, sehingga akalnya yang kurang ini kemudian menghukumi dalil dan lebih mendahulukan akalnya kemudian tidak percaya dengan apa yang telah tetap di dalam dalil. Kemudian mereka mengatakan penyebutan mizan di dalam Al-Qur’an maupun hadits maka yang dimaksud adalah keadilan, jadi mentakwil disini bahwasanya Allah subhanahu wata'ala di hari kiamat akan menegakkan keadilan.
Adapun Ahlus Sunnah Wal Jama’ah maka mereka beriman dengan adanya mizan sesuai dengan yang dikabarkan oleh Allah subhanahu wata'ala dan dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam hadits-hadits yang shahih. Diantara yang dikabarkan oleh Beliau shallallahu 'alaihi wasallam dan juga yang dikabarkan oleh Allah subhanahu wata'ala sebagaimana yang disebutkan disini
فَتُنْصَبُ الْمَوَازِينُ
Akan di tegakkan (dipasang) timbangan-timbangan, ada yang mengatakan (dan ini khilaf diantara para ulama) proses timbangan di akhirat itu satu dan ada yang mengatakan bahwasanya timbangan di akhirat ini adalah banyak, karena terkadang disebutkan dengan jamak yaitu mawazīnu sehingga ada sebagian yang mengatakan bahwa timbangan di akhirat ini banyak bukan hanya satu, dan ada yang menjama’ bahwasanya timbangan di akhirat adalah satu dan dia adalah timbangan yang besar tidak mengetahui tentang besarnya kecuali Allah subhanahu wata'ala dan penyebutan al-mawazīn maka ini karena banyaknya amalan yang ditimbang sehingga dijamak menjadi al-mawazīn.
فَتُوزَنُ بِهَا أَعْمَالُ الْعِبَاد
maka akan ditimbang di dalam timbangan-timbangan tadi amalan-amalan para hamba, ditimbang amalan yang baik juga amalan yang buruk, orang yang lebih berat amalan kebaikannya dibandingkan amalan kejelekannya makan merekalah orang-orang yang beruntung dan barangsiapa yang amalan kejelekannya lebih banyak daripada amalan kebaikannya maka merekalah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri
فَمَن ثَقُلَتۡ مَوَٰزِينُهُۥ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٨
[Al-A’raf]
Maka barangsiapa yang berat timbangan-timbangannya (yaitu timbangan-timbangan kebaikannya, dia memiliki kebaikan dan dia memiliki kejelekan tapi amalan kebaikannya lebih banyak) maka merekalah orang-orang yang beruntung, berarti depannya adalah keberuntungan depannya adalah kesuksesan (surga), ini adalah orang yang timbangan amalnya lebih banyak daripada timbangan kejelekannya (dosa), sebaliknya
وَمَنۡ خَفَّتۡ مَوَٰزِينُهُ
Dan barangsiapa yang ringan amalan kebaikannya, dia malas di dunia untuk beramal saleh banyak dosanya bahkan dosa-dosa yang besar bahkan dosa-dosa yang mengeluarkan dia dari agama Islam (kekufuran), kita tahu bahwasanya kesyirikan kekufuran ini membatalkan amalan
فَأُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ خَسِرُوٓاْ أَنفُسَهُم
maka merekalah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri, yang rugi kalau sampai timbangan kejelekannya lebih berat daripada timbangan kebaikannya kita sendiri, Allah subhanahu wata'ala tidak rugi sedikitpun maka seandainya manusia semuanya kufur kepada Allah subhanahu wata'ala dengan kekufuran yang paling atas yang paling berat maka itu tidak merugikan kecuali diri mereka sendiri Allah subhanahu wata'ala tidak termudharati sedikitpun.
فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ
Mereka kekal didalamnya, dan mereka adalah orang-orang yang kafir yang dengan kekafiran mereka mereka tidak memiliki kebaikan sedikitpun karena Allah subhanahu wata'ala membatalkan dan menggugurkan seluruh amalan yang dilakukan sementara orangnya berada di atas kekufuran, Allah subhanahu wata'ala mengatakan
وَقَدِمۡنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُواْ مِنۡ عَمَلٖ فَجَعَلۡنَٰهُ هَبَآءٗ مَّنثُورًا ٢٣
[Al-Furqan]
maka Kami akan datangi apa yang mereka amalkan berupa amalan kemudian Kami akan jadikan amalan tersebut debu yang berterbangan, tidak akan dianggap oleh Allah subhanahu wata'ala kalau sebuah amalan dilakukan oleh seseorang sementara dia berada di atas kekufuran.
Oleh karena itu disini para ikhwah sekalian perkaranya ini adalah kesungguhan, ini sesuatu yang akan terjadi akan ditimbang amal shaleh dan juga amal kejelekan kita maka hendaklah kita memiliki ham senantiasa kita memikirkan bagaimana supaya kelak kita di hari kiamat memiliki timbangan yang berat di sisi Allah subhanahu wata'ala, dan amalan yang paling berat di hari kiamat adalah tauhid sebagaimana disebutkan dalam haditsul bithaqah dimana Allah subhanahu wata'ala mendatangkan seorang laki-laki yang dia memiliki dosa yang banyak dan di depannya dinampakkan kepadanya 99 sijjil (kitab yang besar) dan masing-masing dari kitab tadi sampai disebutkan dalam hadits besarnya sejauh mata memandang dan isinya adalah dosa semuanya, jumlahnya bukan hanya satu tapi 99 sijjil, kemudian dikatakan kepadanya
أَتُنْكِرُ مِنْ هَذَا شَيْئًا؟
Apakah engkau mengingkari dari ini / adakah sesuatu yang engkau ingkari, artinya dosa yang mungkin dia tidak lakukan di dunia tapi tertulis di kitab ini
أَظَلَمَتْكَ كَتَبَتِي الْحَافِظُونَ؟
Apakah malaikat-malaikat yang menjaga yang menulis mereka mendzalimi dirimu?
قَالَ: لَا، يَا رَبِّ
Dia mengatakan tidak Wahai Rabb ku
فَيَقُولُ: أَلَكَ عُذْرٌ
Apakah engkau memiliki udzur
قَالَ: لَا، يَا رَبِّ
Dia mengatakan tidak Wahai Rabb ku
فَيَقُولُ بَلَى إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَةً فَإِنَّهُ لاَ ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ
Kemudian Allah subhanahu wata'ala mengatakan bahkan engkau disisi Kami memiliki kebaikan, hamba tadi karena dia melihat dosa yang begitu banyak dan dia menyadari bahwasanya dia tidak memiliki kebaikan yang banyak tapi ternyata telah disimpan untuknya sebuah kebaikan yang besar dan tidak akan didzholimi seseorang di hari tersebut
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُۥ ٧
وَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٖ شَرّٗا يَرَهُۥ ٨
hasanah sekecil apapun akan didatangkan oleh Allah subhanahu wata'ala apalagi yang besar, maka dikeluarkan sebuah kartu yang tertulis
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
kartu yang bertuliskan dua kalimat syahadat, kita tahu makna kartu dan apa beda antara kartu dengan sebuah kitab kartu tipis kitab tebal.
فَيَقُولُ احْضُرْ وَزْنَكَ
Kemudian dikatakan kepadanya datangkan timbangannya
فَيَقُولُ يَا رَبِّ مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلاَّتِ
ketika disuruh untuk mendatangkan timbangannya maka dia mengatakan Wahai Rabb ku apa perbandingan antara kartu ini dengan buku-buku yang jumlahnya 99 yang isinya dosa ini, kalau disana ada 99 buku besar yang isinya adalah kebaikan-kebaikan mungkin bisa mengimbangi tapi ini satu kartu, mau dibandingkan berat mana antara satu kartu ini dengan 99 kitab yang besar yang luasnya atau lebarnya sejauh mata memandang.
فَقَالَ إِنَّكَ لاَ تُظْلَمُ
Maka Allah subhanahu wata'ala mengatakan engkau tidak akan didzhalimi
قَالَ فَتُوضَعُ السِّجِلاَّتُ فِى كِفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِى كِفَّةٍ فَطَاشَتِ السِّجِلاَّتُ وَثَقُلَتِ الْبِطَاقَةُ فَلاَ يَثْقُلُ مَعَ اسْمِ اللَّهِ شَىْءٌ
Kemudian akhirnya ditaruhlah 99 sijillat tadi dalam satu daun timbangan kemudian kartu tadi pada daun timbangan yang lain maka 99 buku tadi yang isinya adalah dosa terbang ke atas melesat dan ternyata yang lebih berat adalah bithaqah, karena kalau dua timbangan yang satunya berat maka dia ke bawah dan yang ringan akan ke atas karena sangat beratnya bithaqah tadi sehingga dia melesat menunjukkan tentang beratnya kartu yang bertuliskan dua kalimat syahadat.
Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan maka tidak akan berat bersama nama Allah subhanahu wata'ala sesuatu apapun, tidak ada sesuatu yang mengalahkan beratnya nama Allah subhanahu wata'ala, ini menunjukkan kepada kita tentang pentingnya kita memahami dua kalimat syahadat, dia hanya dua kalimat tapi ternyata dia bisa melemparkan dan bisa melesatkan dosa-dosa yang banyak, maka perhatian kita terhadap dua kalimat syahadah mulai dari mengilmui maknanya memahami isinya melaksanakan konsekuensi-konsekuensi dari dua kalimah syahadah ini adalah perkara yang sangat penting.
Akan ditimbang amalan hamba, hadits yang baru saja kita sebutkan tadi menunjukkan bahwasanya yang ditimbang adalah bukunya dan disana ada yang menunjukkan bahwasanya yang ditimbang adalah amalannya seperti misalnya ucapan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ، ثَقِيلَتَانِ فِى الْمِيزَانِ ، حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ
Ada dua kalimat yang ringan diucapkan oleh lisan tapi berat ditimbangan di akhirat dan sangat dicintai oleh Allah subhanahu wata'ala
سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ
yang ditimbang disini amalan kalau tadi yang ditimbang kitab, dan disana ada dalil yang menunjukkan bahwasanya yang ditimbang adalah orangnya sebagaimana disebutkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa kelak akan didatangkan seorang laki-laki yang besar
إنه لَيَأتي الرَّجلُ السَّمين العظيم يوم القيامة
akan datang seorang laki-laki yang besar dan gemuk di hari kiamat
لا يَزِنُ عند الله جَناح بَعُوضة
Ternyata di hari tersebut beratnya tidak lebih dari satu sayap nyamuk, padahal dia adalah laki-laki yang besar dan gemuk tapi disisi Allah subhanahu wata'ala saat itu beratnya tidak lebih dari satu sayap nyamuk, dan ini menunjukkan tentang bahwasanya ditimbang orangnya dan tidak ada di sini pertentangan antara dalil ini dengan dalil sebelumnya, semuanya akan ditimbang baik kitabnya maupun amalannya demikian pula orangnya, namun kembalinya semuanya ke amal.
Kitab menjadi berat kalau memang amalannya baik, seseorang juga akan menjadi berat kalau memang dia beramal sholeh adapun hanya sekedar gemuk hanya sekedar besar badannya tapi dia tidak beramal shaleh maka sebagaimana dalam hadits tadi, sehingga Syaikhul Islam mengatakan
فَتُوزَنُ بِهَا أَعْمَالُ الْعِبَاد
Dan akan di timbang di dalamnya amalan-amalan para hamba, dan al-‘ibad disini wallahua’lam mencakup semuanya baik orang yang kafir maupun orang yang muslim, dan seorang yang kafir maka akan ditimbang untuk menunjukkan keadilan Allah subhanahu wata'ala, tidak diragukan bahwasanya amal mereka batal tapi mereka akan tetap ditimbang oleh Allah subhanahu wata'ala untuk menunjukkan keadilan Allah subhanahu wata'ala.
Dan timbangan ini disebutkan dalam dalil yang shahih bahwasanya dia memiliki dua piring timbangan dua kiffah sebagaimana dalam hadis bithaqah dan dalam ayat tadi disebutkan bahwasanya dia memiliki sifat berat dan juga ringan, bahkan disebutkan dalam hadits bithaqah bahwasanya dia bisa miring karena amalan, maka ini semua menunjukkan bahwa hisab atau mizan di hari kiamat ini benar adanya, ini bukan hanya sekedar simbol dari keadilan Allah subhanahu wata'ala tapi benar-benar disana ada timbangan yang akan didatangkan oleh Allah subhanahu wata'ala.
Dan disebutkan dalam hadits bahwasanya mizan saat itu yaitu yang digunakan untuk menimbang amalan para hamba ini adalah sangat besar, disebutkan dalam sebuah hadits
يُوْضَعُ الْمِيْزَانُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَلَوْ وُزِنَ فِيْهِ السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ لَوَسِعَتْ
akan diletakkan mizan (disebutkan mufrad disini) di hari kiamat, seandainya langit dan bumi ini ditimbang dengan timbangan tadi nisacaya akan cukup, ini bisa kita mengerti disini bagaimana besarnya timbangan ini.
Hadīts ini shahīh diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam Al-Mustadrak, para ulama berselisih pendapat tentang apakah mizan itu satu atau banyak dan menurut pendapat yang lebih kuat wallahu a’lam jumlahnya adalah satu kemudian jamak di dalam dalil-dalil yang lain ini menunjukkan tentang banyaknya yang ditimbang. Wallahu a’lam.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Al Aqidah Al Wasithiyyah]