Materi 59: Al Wala dan Al Bara
Salah satu dari prinsip ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah, yaitu mencintai dan memberikan wala’ (loyalitas) kepada kaum Mukminin, membenci kaum musyrikin dan orang-orang kafir serta berpaling (bara’) dari mereka.
Al-Wala’ dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti, antara lain; mencintai, menolong, mengikuti dan mendekat kepada sesuatu. Selanjutnya, kata al-muwaalaah (الْمُوَالاَةُ) adalah lawan kata dari al-mu’aadaah (الْمُعَادَاةُ) atau al-‘adawaah (الْعَدَوَاةُ) yang berarti permusuhan. Dan kata al-wali (الْوَلِى) adalah lawan kata dari al-‘aduww (الْعَدُوُّ) yang berarti musuh. Kata ini juga digunakan untuk makna memantau, mengikuti, dan berpaling. Jadi, ia merupakan kata yang mengandung dua arti yang saling berlawanan.
Dalam terminologi syari’at Islam, al-Wala’ berarti penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dicintai dan diridhai Allah berupa perkataan, perbuatan, kepercayaan, dan orang yang melakukannya. Jadi ciri utama wali Allah adalah mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang dibenci Allah, ia condong dan melakukan semua itu dengan penuh komitmen. Dan mencintai orang yang dicintai Allah, seperti seorang mukmin, serta membenci orang yang dibenci Allah, seperti orang kafir.
Sedangkan kata al-bara’ dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, antara lain menjauhi, membersihkan diri, melepaskan diri dan memusuhi. Kata bari-a (بَرِيءَ) berarti membebaskan diri dengan melaksanakan kewajibannya terhadap orang lain.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya.” [At-Taubah/9: 1]
Maksudnya, membebaskan diri dengan peringatan tersebut.
Dalam terminologi syari’at Islam, al-bara’ berarti penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dibenci dan dimurkai Allah berupa perkataan, perbuatan, keyakinan dan kepercayaan serta orang. Jadi, ciri utama al-Bara’ adalah membenci apa yang di-benci Allah secara terus-menerus dan penuh komitmen.
Maka, cakupan makna al-wala’ adalah apa yang dicintai Allah, sedangkan cakupan makna al-bara’ adalah apa yang dibenci Allah.
Pertama: Al-Wala’ wal bara’ merupakan bagian penting dari makna syahadat. Maka, ungkapan لاَ إِلَهَ (tiada ilah) dalam syahadat: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah) berarti melepaskan diri dari semua sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Sungguh Kami telah mengutus kepada tiap-tiap ummat seorang Rasul (yang menyerukan): ‘Beribadahlah hanya kepada Allah dan jauhkanlah thaghut…’” [An-Nahl/16: 36]
Thaghut adalah semua yang disembah selain Allah Azza wa Jalla.
Kedua: Al-Wala’ wal bara’ merupakan bagian dari ikatan iman yang paling kuat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ikatan iman yang paling kuat adalah loyalitas yang kuat karena Allah dan permusuhan karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.”[HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (no. 11537)]
Ketiga: Al-Wala’ wal bara’ merupakan faktor utama yang menyebabkan hati dapat merasakan manisnya iman.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“… Apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allah…”[HR. Al-Bukhari (no. 16), Muslim (no. 43), at-Tirmidzi (no. 2624), an-Nasa-i (VII/96) dan Ibnu Majah (no. 4033)]
Keempat: Pahala yang sangat besar bagi orang yang mencintai karena Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah dalam naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya,… dan dua orang yang saling mencintai karena Allah, keduanya berkumpul maupun berpisah juga karena-Nya…”[HR. Al-Bukhari (no. 660, 1423), Muslim (no. 1031)]
Mengenai hukum wajibnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
"Janganlah orang-orang mukmin menjadikan orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka…” [Ali ‘Imran/3: 28]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin-pemimpinmu, sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lainnya. Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” [Al-Maa-idah/5: 51]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang (yang menentang Allah dan Rasul-Nya) itu adalah bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka…” [Al-Mujaadilah/58: 22]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya: ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab: ‘Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah).’ Para malaikat berkata: ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’ Orang-orang itu tempatnya Neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali.’ Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” [An-Nisaa/4: 97- 99]
Allah Subhanahu wa Ta’alal berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Mahamelihat apa yang kamu kerjakan.” [Al-Anfaal/8: 72]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini…” [Al-Kahfi/18: 28]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Salah seorang di antaramu tidaklah dikatakan beriman sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri (di dalam perkara kebaikan)” [HR. Al-Bukhari (no. 13), Muslim (no. 45 (71)), Ibnu Majah (no. 66), at-Tirmidzi (no. 2515), Ahmad (III/176, 206, 251), an-Nasa-i (VIII/115), ad-Darimy (II/307), Abu ‘Awanah (I/33)]
Melakukan apa yang menjadi hak-hak kaum Muslimin seperti menjenguk yang sakit atau mengantar jenazah, mendo’akan mereka, memohonkan ampunan untuk mereka, mengucapkan salam kepada mereka, tidak curang dalam bergaul dengan mereka, tidak memakan harta mereka dengan cara yang bathil dan lainnya.
“Berpegang-teguhlah kamu kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai….” [Ali ‘Imran/3: 103]
***
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas]
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Referensi:
Al-Wala’ dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti, antara lain; mencintai, menolong, mengikuti dan mendekat kepada sesuatu. Selanjutnya, kata al-muwaalaah (الْمُوَالاَةُ) adalah lawan kata dari al-mu’aadaah (الْمُعَادَاةُ) atau al-‘adawaah (الْعَدَوَاةُ) yang berarti permusuhan. Dan kata al-wali (الْوَلِى) adalah lawan kata dari al-‘aduww (الْعَدُوُّ) yang berarti musuh. Kata ini juga digunakan untuk makna memantau, mengikuti, dan berpaling. Jadi, ia merupakan kata yang mengandung dua arti yang saling berlawanan.
Dalam terminologi syari’at Islam, al-Wala’ berarti penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dicintai dan diridhai Allah berupa perkataan, perbuatan, kepercayaan, dan orang yang melakukannya. Jadi ciri utama wali Allah adalah mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang dibenci Allah, ia condong dan melakukan semua itu dengan penuh komitmen. Dan mencintai orang yang dicintai Allah, seperti seorang mukmin, serta membenci orang yang dibenci Allah, seperti orang kafir.
Sedangkan kata al-bara’ dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, antara lain menjauhi, membersihkan diri, melepaskan diri dan memusuhi. Kata bari-a (بَرِيءَ) berarti membebaskan diri dengan melaksanakan kewajibannya terhadap orang lain.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
بَرَاءَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
“(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya.” [At-Taubah/9: 1]
Maksudnya, membebaskan diri dengan peringatan tersebut.
Dalam terminologi syari’at Islam, al-bara’ berarti penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dibenci dan dimurkai Allah berupa perkataan, perbuatan, keyakinan dan kepercayaan serta orang. Jadi, ciri utama al-Bara’ adalah membenci apa yang di-benci Allah secara terus-menerus dan penuh komitmen.
Maka, cakupan makna al-wala’ adalah apa yang dicintai Allah, sedangkan cakupan makna al-bara’ adalah apa yang dibenci Allah.
A. Definisi ‘Aqidah al-Wala’ dan al-Bara’
Dari penjelasan terdahulu: ‘aqidah al-wala’ wal-bara’ dapat didefinisikan sebagai penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dicintai dan diridhai Allah serta apa yang dibenci dan dimurkai Allah, dalam hal perkataan, perbuatan, kepercayaan, dan orang. Dari sini kemudian kaitan-kaitan al-wala’ wal bara’ dibagi menjadi empat:- Perkataan
- Perbuatan
- Kepercayaan
- Orang
B. Kedudukan ‘Aqidah al-Wala’ wal Bara’ dalam Syari’at Islam
‘Aqidah al-wala’ wal bara’ memiliki kedudukan yang sangat penting dalam keseluruhan muatan syari’at Islam. Berikut penjelasannya:Pertama: Al-Wala’ wal bara’ merupakan bagian penting dari makna syahadat. Maka, ungkapan لاَ إِلَهَ (tiada ilah) dalam syahadat: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah) berarti melepaskan diri dari semua sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Sungguh Kami telah mengutus kepada tiap-tiap ummat seorang Rasul (yang menyerukan): ‘Beribadahlah hanya kepada Allah dan jauhkanlah thaghut…’” [An-Nahl/16: 36]
Thaghut adalah semua yang disembah selain Allah Azza wa Jalla.
Kedua: Al-Wala’ wal bara’ merupakan bagian dari ikatan iman yang paling kuat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ: الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ، وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ، وَالْبُغْضُ فِي اللهِ.
“Ikatan iman yang paling kuat adalah loyalitas yang kuat karena Allah dan permusuhan karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.”[HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (no. 11537)]
Ketiga: Al-Wala’ wal bara’ merupakan faktor utama yang menyebabkan hati dapat merasakan manisnya iman.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
…وَ أَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ…
“… Apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allah…”[HR. Al-Bukhari (no. 16), Muslim (no. 43), at-Tirmidzi (no. 2624), an-Nasa-i (VII/96) dan Ibnu Majah (no. 4033)]
Keempat: Pahala yang sangat besar bagi orang yang mencintai karena Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ:.. وَرَجُلاَنِ تَحَاباَّ فِي اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقاَ عَلَيْهِ…
“Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah dalam naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya,… dan dua orang yang saling mencintai karena Allah, keduanya berkumpul maupun berpisah juga karena-Nya…”[HR. Al-Bukhari (no. 660, 1423), Muslim (no. 1031)]
C. Hukum ‘Aqidah al-Wala’ wal Bara’
Hukum al-wala’ wal bara’ dalam syari’at Islam adalah wajib, bahkan merupakan salah satu konsekuensi syahadat.Mengenai hukum wajibnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَّا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَن تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً
"Janganlah orang-orang mukmin menjadikan orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka…” [Ali ‘Imran/3: 28]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin-pemimpinmu, sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lainnya. Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” [Al-Maa-idah/5: 51]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَّا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang (yang menentang Allah dan Rasul-Nya) itu adalah bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka…” [Al-Mujaadilah/58: 22]
D. Hak-Hak al-Wala’
Ahlus Sunnah memandang bahwa dalam al-wala’ terdapat hak-hak yang harus dipenuhi, antara lain:Hijrah
Yaitu hijrah dari negeri kafir ke negeri Muslim, kecuali bagi orang yang lemah, atau tidak dapat berhijrah karena kondisi geografis dan politik kontemporer yang tidak memungkinkan.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ ۖ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ ۚ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا ۚ فَأُولَٰئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا إِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًافَأُولَٰئِكَ عَسَى اللَّهُ أَن يَعْفُوَ عَنْهُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya: ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab: ‘Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah).’ Para malaikat berkata: ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’ Orang-orang itu tempatnya Neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali.’ Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” [An-Nisaa/4: 97- 99]
Membantu dan menolong kaum Muslimin
Yaitu membantu dan menolong kaum Muslimin dengan lisan, harta dan jiwa di semua belahan bumi dan dalam semua kebutuhan, baik dunia maupun agama.Allah Subhanahu wa Ta’alal berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوا وَّنَصَرُوا أُولَٰئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُم مِّن وَلَايَتِهِم مِّن شَيْءٍ حَتَّىٰ يُهَاجِرُوا ۚ وَإِنِ اسْتَنصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَىٰ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَاقٌ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Mahamelihat apa yang kamu kerjakan.” [Al-Anfaal/8: 72]
Mencintai kaum Muslimin
Yaitu hendaklah ia mencintai kaum Muslimin sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, baik berupa memberi kebaikan maupun menolak keburukan. Ia wajib menasihati mereka, tidak menyombongkan diri dan tidak dendam kepada mereka. Ahlus Sunnah berusaha untuk berkumpul bersama mereka.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ ۖ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini…” [Al-Kahfi/18: 28]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (مِنَ الْخَيْرِ).
“Salah seorang di antaramu tidaklah dikatakan beriman sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri (di dalam perkara kebaikan)” [HR. Al-Bukhari (no. 13), Muslim (no. 45 (71)), Ibnu Majah (no. 66), at-Tirmidzi (no. 2515), Ahmad (III/176, 206, 251), an-Nasa-i (VIII/115), ad-Darimy (II/307), Abu ‘Awanah (I/33)]
Menjaga kehormatan kaum Muslimin
Yaitu tidak mengejek, melecehkan, mencari aib, dan tidak ghibah serta tidak melakukan namimah (berita yang menyebabkan permusuhan/mengadu domba) terhadap sesama kaum Muslimin.[Lihat QS. Al-Hujuurat/49: 11-12]Melakukan apa yang menjadi hak-hak kaum Muslimin seperti menjenguk yang sakit atau mengantar jenazah, mendo’akan mereka, memohonkan ampunan untuk mereka, mengucapkan salam kepada mereka, tidak curang dalam bergaul dengan mereka, tidak memakan harta mereka dengan cara yang bathil dan lainnya.
Bersatu dalam jama’ah kaum Muslimin
Yaitu bersatu padu ke dalam satu jama’ah kaum Muslimin berdasarkan ‘aqidah dan manhaj yang benar sebagaimana dicontohkan oleh generasi awal terbaik ummat ini (para Sahabat Radhiyallahu anhum). Dan tidak berpecah belah, serta senantiasa tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar.وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Berpegang-teguhlah kamu kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai….” [Ali ‘Imran/3: 103]
***
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas]
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Referensi:
- Al-Irsyad ilaa Shahiihil I’tiqaad (hal. 347-361) Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan
- Al-Madkhal lidiraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah
- Al-Wajiiz fii ‘Aqiidatis Salafish Shaalih
- At-Tauhiid lish Shaffil Awwal al-‘Aliy