Halaqah 27: Landasan Ke Dua Ma’rifatu Dinil Islam Bil Adillah: Muqoddimah (Bagian 2)
Materi HSI pada halaqah ke-27 dari halaqah silsilah ilmiyyah abdullah roy bab Kitab Ushul Ats Tsalatsah adalah tentang landasan kedua ma'rifatu dinil islam bil adillah muqadimah bagian 2.
Di dalam Hadits yang shahih Nabi shallallahu 'alihi wasallam mengatakan,
الْأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ لِعَلَّاتٍ ، أُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ
“Para Nabi mereka adalah saudara-saudara, sama bapaknya beda ibunya.”
Ini bukan maksudnya nasab secara hakiki tapi di sini ingin mendekatkan kepada kita pemahaman tentang masalah bagaimana aqidah mereka dan bagaimana tata cara ibadah mereka.
Ibu-ibu mereka berbeda, maksudnya di sini adalah syari’at mereka berbeda, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla,
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَاجًا
[Al Maidah 48]
“Bagi masing-masing dari kalian kami jadikan syari’at dan juga jalan.”
Syari’at yang ada di zaman Nabi Musa lain dengan yang ada di zaman Nabi Luth, misalnya. Syari’at kaum Nabi Sholeh lain dengan syari’at yang ada di kaumnya Nabi Muhammad shallallahu 'alihi wasallam.
Yang berbeda diantara mereka adalah syari’atnya, yaitu tata cara ibadahnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala membedakan karena kebijaksanaan dari Allah. Mungkin sebuah syari’at pas bagi sebuah kaum dan tidak pas bagi kaum yang lain, sehingga tentunya bukan keadilan kalau Allah samakan satu dengan yang lain, tapi Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Bijaksana. Allah bedakan, terkadang sebuah syari’at disyari’atkan di sebuah kaum tetapi tidak disyari’atkan di kaum yang lain, contoh seperti tayamum.
Tayamum ini disyari’atkan untuk umatnya Nabi Muhammad shallallahu 'alihi wasallam saja. Adapun umat-umat sebelumnya maka tidak ada di sana syari’at Tayamum. Di dalam sebuah Hadits beliau shallallahu 'alihi wasallam , mengatakan,
وَ جُعِلَتْ لِي اْلأَرْضُ مَسْجِدًا وَ طَهُوْرًا
“Dijadikan bagiku tanah itu menjadi masjid dan alat bersuci.”
Tanah bisa menjadi masjid, maksudnya adalah bisa untuk sujud. Dan dijadikan tanah sebagai thohuran, maksudnya sebagai alat untuk bersuci. Jadi tanah yang kita pijak ini bisa untuk sujud langsung, kita sujud di atas tanah dan dia sekaligus bisa untuk bersuci (bertayamum). Seandainya di sana tidak ada air untuk berwudhu atau untuk mandi maka bisa digantikan dengan tayamum dan ini tidak ada di dalam umat sebelumnya dan tidak boleh mereka melakukan sujud di atas tanah langsung tapi harus ada tempat ibadah (di dalam ruangan). Makanya beliau mengatakan,
فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ
“Dan siapa saja di kalangan umatku yang mendapatkan sholat (di jalan ketika safar misalnya mendapatkan waktu shalat) tidak harus dia menunggu sampai mendapatkan masjid.
Seandainya dia berhenti kemudian dia shalat di atas gurun atau tanah maka tidak masalah yang demikian. Berarti tayamum disyari’atkan untuk umat Rasulullah shallallahu 'alihi wasallam dan tidak disyari’atkan untuk umat sebelumnya.
Jenis yang ke dua diantara perbedaannya, masalah halal dan juga haram. Ini juga kadang berbeda. Terkadang diharamkan kepada sebagian kaum tapi dihalalkan oleh Allah bagi kaum yang lain. Contoh misalnya ghonimah (harta rampasan perang).
وأُحِلَّتْ لي المَغَانِمُ ولَمْ تَحِلَّ لأحَدٍ قَبْلِي
“Dan dihalalkan untukku ghonimah.”
Maksudnya adalah untuk Beliau dan disyari’atkan untuk umat Beliau. Seandainya berperang kemudian musuh kita kalah (orang-orang kafir mereka kalah), maka halal bagi kita untuk mengambil rampasan perang, bukan sesuatu yang diharamkan. Senjatanya, emas yang tertinggal, bahkan tawanan mereka, bisa menjadi budak yang halal bagi kaum muslimin tentunya dengan aturan yang ada di dalamnya.
Adapun di umat-umat sebelumnya, Nabi-Nabi sebelumnya, kalau misalnya terjadi peperangan antara mereka dengan kuffar, maka tidak halal bagi mereka untuk mengambil harta rampasan perang, meskipun di depan mereka tumpukan emas, hewan, dan seterusnya, tidak halal bagi mereka untuk mengambil rampasan perang tersebut. Kalau diambil haram hukumnya. Ini bagi umat-umat sebelumnya.
Inilah makna – أُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى – ibu-ibu mereka berbeda, maksudnya adalah syari’atnya berbeda.
– وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ – adapun agama mereka maka agama mereka adalah satu, yaitu agama Islam. Agama mereka satu, maksudnya adalah semuanya dari awal sampai akhir agamanya satu, yaitu menyembah hanya kepada Allah. Islam menyerahkan diri hanya kepada Allah.
Yang satunya disyari’atkan tayamum yang satunya tidak boleh tayamum, tapi semuanya sama, yaitu menyembah kepada Allah.
Satunya dihalalkan ghonimah yang satunya tidak dihalalkan ghonimah, semuanya sama yaitu semuanya menyembah dan taat kepada Allah saja.
Maka hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari ini menunjukan bahwa para Nabi dan para Rasul agama mereka adalah agama yang satu, yaitu agama Islam dan ini adalah makna Dienul Islam secara umum.
Kemudian di sana ada makna agama Islam secara khusus, yaitu Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alihi wasallam dan inilah yang dimaksud oleh beliau di dalam ucapan beliau,
– معرفة دين الإسلام بالأدلة – kita mengenal Agama Islam, yaitu mengenal Agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu 'alihi wasallam ini.
Karena kita mengaku sebagai pengikut Beliau dan kita mengaku sebagai pemeluk agama Islam, maka kewajiban kita adalah mengenal agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alihi wasallam.
Inilah yang dimaksud dengan ucapan – معرفة دين الإسلام بالأدلة –
Insya Allah akan dibeberkan/dijelaskan oleh beliau secara panjang lebar.
Kemudian kalau kita cermati nanti, ternyata di dalam agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhamamad shallallahu 'alihi wasallam di dalamnya juga ada istilah Islam ada 3 tingkatan yaitu,
1. Islam
2. Iman
3. Ihsan
Berarti mungkin kalau benar ada ‘aam , khos dan khosun khos. Yang paling luas Islam ini adalah agama seluruh para Nabi dan Rasul. Lebih khusus, Islam secara khusus adalah agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alihi wasallam dan agama Islam yg dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alihi wasallam ada tiga tingkatan, tingkatan yang pertama juga dinamakan dengan Islam kemudian yang ke dua adalah Iman dan yang ke tiga adalah Ihsan.
Islam mewakili amalan-amalan yang dhohir, Iman mewakili amalan-amalan yang bathin, dan Ihsan adalah puncak di dalam melakukan amalan-amalan yang dhohir maupun amalan-amalan yang bathin.
Jadi ada berbagai istilah Islam, maka kita harus paham yang demikian. Jangan rancu bagi kita tentang makna Islam ini.
Terkadang dipakai dan maksudnya adalah secara umum.
ان الدين عند الله الاسلام
Dan terkadang maknanya adalah agama Islam yg dibawa oleh Nabi shallallahu 'alihi wasallam seperti misalnya,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
Dien disini adalah Dienul Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alihi wasallam. Demikian pula sabda Beliau,
بني الاسلام على خمس
Maksudnya Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alihi wasallam.
Ucapan beliau – بالأدلة -dengan dalil-dalil-nya, kita ingin mengenal agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alihi wasallam dengan dalil-dalil-nya, karena demikianlah yang namanya aqidah dibangun. Seseorang boleh meyakini kalau memang ada hujjahnya (dalilnya). Dalam agama Islam diajarkan kepada kita untuk meyakini sesuatu harus berdasarkan hujjah. Ada dalil silahkan diyakini.
Jadi aqidah tidak dibangun di atas khurofat, takhoyyul (persangkaan semata). Persangkaan semata yang tidak ada dalilnya, seperti yang dilakukan oleh orang-orang musyrikin yang mereka hanya dzon saja, meyakini dan mengatakan sesuatu dan itu semua muncul dari lisan mereka hanya sekedar persangkaan semata, tidak ada dalilnya, seperti ketika mereka mengatakan,
هَٰؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِندَ اللَّهِ
ما نعبدهم إلا ليقربونا إلى الله زلفى
Malaikat adalah banaatullah. Dari mana mereka itu ucapkan? Dzon saja.
ان يظنون الا ظنا
“Mereka tidak menyangka kecuali hanya persangkaan semata.”
Dan demikian yang dilakukan oleh pengikut-pengikut mereka. Sampai saat ini mengatakan sesuatu dan yang ada hanyalah dzon dan takhorrus , takhoddud, tidak ada di sana sesuatu yang berdasarkan dalil yang jelas (dalil yang shahih). Maka beliau mengajak kita untuk mengenal agama Islam dengan dalil-dalil.