Halaqah 17: Nama-Nama Allah Subhanahu wata'ala yang Nafiyyah dan Mutsbittah & Sifat-Sifat Allah Subhanahu wata'ala yang Manfiyyah dan Mutsbattah yang Ada dalam QS Al-Ikhlas
Halaqah yang ke-17 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Disini beliau akan membawakan dalil-dalil yang menunjukkan tentang adanya nama-nama yang Nafiya dan mutsbitah serta sifat yang manfiyah dan sifat yang mutsbatah, semuanya adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi tentang nama dan juga sifat Allah subhanahu wata’ala.
Beliau mengatakan
وَقَدْ دَخَلَ فِي هِذِهِ الْجُمْلَةِ
Dan masuk didalam jumlah ini, yaitu didalam kalimat yang berisi tentang kaidah Ahlussunnah yang isinya bahwasanya Allah subhanahu wata’ala menggabungkan antara النَّفْيِ وَالإِثْبَات. Allah subhanahu wata’ala di dalam Al-Qur’an asalnya ketika mengitsbat kebanyakan didalam Al-Qur’an, Allah subhanahu wata’ala memperinci sifat-sifatnya, nama-namanya. Adapun penafian maka kebanyakan Allah subhanahu wata’ala menafikan secara global bukan secara terperinci. Secara terperinci ketika menetapkan makanya banyak di sebutkan nama-nama Allah subhanahu wata’ala sifat-sifat Allah subhanahu wata’ala dan hampir setiap halaman dari mushaf yaitu disebutkan nama dan juga sifat, tapi ketika menafikan maka kebanyakan adalah secara global.
Terkadang Allah subhanahu wata’ala memperinci dalam menafikan, menafikan dari dirinya kedzoliman, menafikan dari dirinya sinah dan juga naum (ngantuk dan juga tidur), menafikan dari dirinya rasa lelah misalnya
وَمَا مَسَّنَا مِن لُّغُوبٍ
[Qaf:38]
Kami tidak ditimpa oleh rasa lelah.
Dan menafikan dari diri-Nya ansiyan (lupa), menafikan dari diri-Nya dholal,
لَّا يَضِلُّ رَبِّى وَلَا يَنسَى
Allah subhanahu wata’ala tidak bodoh dan juga tidak lupa.
Ini berarti ada perincian dalam menafikan tapi itu sedikit, sehingga ahlussunnah mengatakan bahwasanya qoidahnya adalah al-itsbatul mufashshal wa nafyul majmul, ini qoidah Ahlussunnah yaitu menetapkan secara terperinci dan menafikan secara global, maksudnya adalah kebanyakan.
Kenapa di sini perlu kita sampaikan, karena disana ada kelompok yang menyelisihi ahlussunnah dimana mereka di dalam masalah menafikan mereka memperinci adapun ketika menetapkan maka mereka menetapkan secara global. Menetapkan bahwasanya Allah subhanahu wata’ala itu ada, tapi ketika menafikan maka mereka menafikan secara terperinci, Allah subhanahu wata’ala tidak demikian, Allah subhanahu wata’ala tidak demikian, Allah subhanahu wata’ala tidak demikian dan seterusnya, ini menyelisihi jalan atau cara Al-Qur’an di dalam masalah nama dan juga sifat Allah subhanahu wata’ala.
Kembali ke ucapan beliau وَقَدْ دَخَلَ فِي هِذِهِ الْجُمْلَةِ. Masuk didalam jumlah ini yaitu kaidah bahwa Allah subhanahu wata’ala mengumpulkan antara itsbat dan juga nafiyan. Beliau memulai dengan surat al-ikhlas dan ayat kursi karena di dalam surat al-ikhlas dan juga di dalam ayat kursi yang telah datang keutamaannya didalam hadith, ternyata di situ Allah subhanahu wata’ala mengumpulkan antara النَّفْيِ وَالإِثْبَات, ini adalah kenapa beliau memilih surat Al-Ikhlas dan juga ayat kursi dan keduanya sebagian besar kaum muslimin insyaAllah menghafal. Beliau mendatangkan sesuatu yang mudah dan dihafal oleh sebagian besar kaum muslimin untuk menguatkan apa yang beliau sampaikan sebelumnya, bahwasanya Allah subhanahu wata’ala mengumpulkan antara النَّفْيِ وَالإِثْبَات. Beliau mulai dengan Al-Ikhlas kemudian Ayat kursi kemudian setelah itu akan menyebutkan ayat-ayat yang lain.
وَمَا وَصَفَ بِهِ نَفْسَهُ فِي سورة الإخلاص
Apa yang Allah subhanahu wata’ala sifatkan dan dengannya, yaitu apa yang Allah subhanahu wata’ala sebutkan didalam surah Al-Ikhlas, berupa sifat-sifat yang dia sifati dirinya dengan sifat-sifat tadi
الَّتِي تَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ
Dimana surah Al-Ikhlas ini sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an.
Dan ini berdasarkan sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al Bukhari dimana Abu Sa’id Al-Khudri menceritakan ada seorang laki-laki yang mendengar laki-laki yang lain membaca قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ dan mengulang-ngulangnya. Ketika datang waktu pagi maka laki-laki ini datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَكَأَنَّ الرَّجُلَ يَتَقَالُّهَا
sepertinya laki-laki ini menganggap ini adalah sesuatu yang sedikit, kenapa membaca Al-Ikhlas tidak membaca ayat-ayat yang lain, surat-surat yang lain kan ada surat-suratnya yang lain yang lebih panjang, kenapa yang dia ulang-ulang adalah surat Al-Ikhlas
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ
Demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, sungguh surat Al-Ikhlas ini sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an, sebanding pahalanya. Jadi orang yang membaca surat Al-Ikhlas dari awal sampai akhir maka dia mendapatkan pahala seperti orang yang membaca sepertiga dari Al-Qur’an, dari sisi pahalanya dia mendapatkan pahala orang yang membaca sepertiga dari Al Quran, 10 juz. Kalau kita menghitung berapa huruf yang ada dalam 10 juz maka ini adalah jumlah pahala yang besar, satu huruf di dalam Al-Qur’an apabila kita membacanya kita mendapatkan satu kebaikan dan satu kebaikan dilipat gandakan oleh Allah subhanahu wata’ala menjadi 10 kebaikan
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Al-Qur’an maka dari setiap huruf yang dia baca, dia mendapatkan satu kebaikan dan satu kebaikan dilipatgandakan menjadi 10 kebaikan. Orang yang membaca sepertiga dari Al-Qur’an yaitu 10 juz maka dia mendapatkan pahala yang besar. Ini menunjukkan tentang keagungan surat Al-Ikhlas, dan beliau menyebutkan tentang Hadits ini dan bahwasanya surat Al-Ikhlas ini sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an, berarti di sana ada rahasia yaitu kenapa nabi dan mengapa orang yang membaca Al-Ikhlas ini mendapatkan pahala yang demikian besar, Allahu A’lam adalah karena kandungannya yang luar biasa kandungan yang ada dalam surat Al-Ikhlas.
Sebagian Ulama menjelaskan Al-Qur’an ini ada tiga bagian, ada ayat-ayat yang berisi tentang ahkam (hukum-hukum) yang di dalamnya ada perintah dan juga larangan, seperti misalnya hukum shalat, zakat, kemudian puasa misalnya atau haji, tata cara pembagian waris misalnya, dan didalamnya ada larangan-larangan berzina, larangan membunuh tanpa hak, larangan riba, ini bagian yang pertama.
Bagian yang kedua adalah qashash (kisah-kisah), ada kisah-kisah para nabi, ada kisah umat terdahulu, orang-orang yang shaleh, maka ini bagian yang kedua. Kemudian yang ketiga adalah tentang Tauhid dan Al-Ikhlas ini mengandung Tauhid, berarti dia mengandung sepertiga dari isi Al-Qur’an karena isinya adalah Tauhid dari awal sampai akhir sehingga dinamakan dengan surat Al-Ikhlas yaitu ikhlas hanya untuk Allah subhanahu wata’ala.
Kita lihat bagaimana isi dari Al-Ikhlas dan bagaimana dia menunjukkan النَّفْيِ وَالإِثْبَات.
حَيثُ يَقُولُ
Ketika Allah subhanahu wata’ala mengatakan
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Katakanlah Dia-lah Allah subhanahu wata’ala yang ahad. Katakan wahai Muhammad Dia adalah Allah subhanahu wata’ala yang Maha Esa. Lafdzul jalalah, ini adalah nama Allah subhanahu wata’ala, berarti nama yang ditetapkan di dalam surah ini yang pertama adalah lafdzul jalalah yaitu Allah subhanahu wata’ala, yang mengandung sifat Al-Uluhiyah. Berarti disini Allah subhanahu wata’ala menetapkan namanya yaitu Allah subhanahu wata’ala Lafdzul Jalalah yang mengandung sifat uluhiyah, ini nama dan juga sifat yang pertama.
Kemudian Allah subhanahu wata’ala mengatakan أَحَدٌ, ahadun artinya adalah yang Maha Esa yaitu yang Maha Tunggal dalam fi’il-fi’ilnya dan juga sifat-sifatnya dan juga zatnya. Allah subhanahu wata’ala Dia-lah yang Maha Esa didalam Dzat-Nya dan Dia-lah yang Maha Esa didalam sifat-Nya dan tidak ada yang serupa dengan Allah subhanahu wata’ala. Didalam fi’ilnya juga demikian tidak ada yang serupa dengan Allah subhanahu wata’ala didalam fi’ilnya. Allah subhanahu wata’ala Dia-lah yang Maha Esa tidak ada yang serupa dengan Allah subhanahu wata’ala.
Maka ini menunjukkan bahwasanya diantara nama Allah subhanahu wata’ala adalah Al-Ahad, berarti kita menetapkan diantara nama Allah subhanahu wata’ala adalah Al-Ahad dan sifat yang terkandung dalam Al-Ahad adalah Al-Ahadiyah (keesaan). Ini kaidah yang harus kita ketahui bahwasanya setiap nama itu mengandung sifat minimal satu sifat, terkadang bisa mengandung dua sifat atau tiga sifat. Ketika Allah subhanahu wata’ala mengatakan
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
berarti nama yang kedua yang Allah subhanahu wata’ala sebutkan dalam surat ini adalah nama Al-Ahad. Apa sifat yang terkandung didalamnya, sifat Al-Ahadiyah. Jadi nama Allah subhanahu wata’ala itu adalah nama-nama yang mustaq bukan nama-nama yang jami’, nama yang jami’ ini tidak diambil dari sebuah kata, tapi nama-nama Allah subhanahu wata’ala ini diambil dari kata yang lain, ada maknanya, bukan sebuah kata yang tidak ada maknanya.
Dan kata Ahad ini tidak digunakan dalam keadaan Itsbat kecuali untuk Allah subhanahu wata’ala saja, seperti dalam ayat ini اللَّهُ أَحَد, inikan positif tidak ada kata tidak atau bukan, sehingga dalam keadaan itsbat ini tidak digunakan kecuali hanya untuk Allah subhanahu wata’ala. Tidak boleh kita mengatakan fulan ahad, untuk makhluk tidak boleh, karena Ahad ini hanya untuk Allah subhanahu wata’ala dalam keadaan Itsbat, dalam keadaan positif, tapi kalau kalimatnya adalah kalimat yang negatif maka bisa digunakan kalimat ahad untuk selain Allah subhanahu wata’ala. Seperti misalnya seseorang mengatakan lam ya’ti ahadun (belum datang seorang pun), berarti di sini negatif karena ada kalimat lam (tidak/belum) datang seorang pun, tapi dalam keadaan yang kalimatnya adalah kalimat yang positif maka tidak dipakai kecuali dalam hak Allah subhanahu wata’ala.
Berarti ayat yang pertama didalamnya ada penetapan nama Allah subhanahu wata’ala Lafdzul Jalalah dan sifat Allah subhanahu wata’ala Al-Uluhiyah, kemudian menetapkan nama Allah subhanahu wata’ala Al-Ahad dan sifat Allah subhanahu wata’ala Al- Ahadiyah. Allahu A’lam disini adalah termasuk nama yang nafiyah seperti As-Salam, Al-Quddus, kemudian Shubbuh, karena ketika Allah subhanahu wata’ala mengatakan
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَد
berarti disini ada menafikan al-matsil, yaitu menafikan sesuatu yang sebanding dengan Allah subhanahu wata’ala. Dia adalah Ahad, Dia adalah yang Esa dalam Dzat-Nya, dalam sifat-Nya, dalam af’al-Nya, dalam perbuatan-perbuatan-Nya.
***
[Disalin dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) Abdullah Roy bab Kitab Al Aqidah Al Wasithiyyah]