Halaqah 195: Ahlus Sunnah Memerintahkan untuk Berbakti kepada Orang Tua, Menyambung Kekerabatan, Berbuat Baik kepada Tetangga, dan Kebaikan Lainnya

Halaqah yang ke-195 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, beliau mengatakan,

وَيَأْمُرُونَ بِبِرِّ الْوَالِدَيْنِ،

“Dan mereka memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua.”

Tentunya berdasarkan Firman Allah subhanahau wata'ala,

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra: 23)

Kemudian Allah subhanahau wata'ala mengatakan,

وَٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا۟ بِهِۦ شَيْـًٔا ۖ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak.”(QS An-Nissa: 36)

Kita disuruh untuk berbakti kepada kedua orang tua. Bahkan dalam beberapa ayat, Allah subhanahau wata'ala menjadikan hak orang tua ini setelah hak Allah subhanahau wata'ala.

Dan di dalam sebuah hadīts Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan bahwasanya berbakti kepada orang tua termasuk amalan yang mulia, (yang sangat mulia).

Di dalam sebuah hadits, Rasūlullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya oleh Abdullah bin Mas’ud, “Wahai Rasūlullah, apa amalan yang paling afdhal?

Beliau mengatakan:

الصَّلَاةِ فِي أَوَّلِ وَقْتِهَا

“Shalat di awal waktu.”

قَالَ : قُلْتُ : ثُمَّ أَيٌّ ؟

Kemudian aku bertanya: “Kemudian apa lagi ya Rasūlullah shallallahu 'alaihi wasallam?”

قَالَ : الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Yaitu berjihad di jalan Allah subhanahau wata'ala.”

قَالَ : قُلْتُ : ثُمَّ أَيٌّ ؟

Kemudian beliau bertanya lagi: “Kemudian apa lagi wahai Rasūlullah?”

قَالَ : بِرُّ الْوَالِدَيْنِ

“Yaitu berbakti kepada kedua orang tua.”

Dan bakti kepada orang tua bisa dengan lisan, dengan ucapan, atau dengan sikap, dengan perbuatan, atau membantu beliau sesuai dengan kemampuan, maka ini semua adalah masuk dalam birrul walidain (بِرُّ الْوَالِدَيْنِ).

وَصِلَةِ الأَرْحَامِ،

“Dan mereka adalah orang yang menyuruh untuk menyambung tali silaturahim.”

Karena memutus tali silaturahim ini adalah bahaya, dia termasuk dosa besar.

Allah subhanahau wata'ala mengatakan,

فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوٓا۟ أَرْحَامَكُمْ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ لَعَنَهُمُ ٱللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰٓ أَبْصَٰرَهُمْ

“Apakah jika kalian berpaling, kalian merusak di permukaan bumi, dan kalian memutus tali silaturahim kalian.” (QS. Muhammad: 22)

Kemudian Allah subhanahau wata'ala mengatakan,

أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ لَعَنَهُمُ ٱللَّهُ

“Merekalah orang-orang yang Allah laknat, maka Allah membisukan mereka dan menutupi penglihatan-penglihatan mereka.” (QS. Muhammad: 23)

Ini menunjukkan tentang bahayanya seseorang memutus tali silaturahim, karena bisa mendapatkan laknat. Ini menunjukkan bahwa memutus tali silaturahim adalah sebuah dosa besar.

Bagaimana kalau dia, saudara kita yang berbuat jelek kepada kita. Jangan dibalas kejelekan tadi dengan kejelekan, kita balas dengan kebaikan, sebagaimana dalam ucapan beliau sebelumnya.

وَحُسْنِ الْجِوَارِ

Dan mereka juga memerintahkan untuk baik dalam masalah tetangga.

Karena Allah subhanahau wata'ala mengatakan,

وَٱلْجَارِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْجَارِ ٱلْجُنُبِ

“Tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh.” (QS An-Nisa: 36)

Kita disuruh berbuat baik untuk tetangga yang masih keluarga maupun tetangga yang jauh, bukan termasuk keluarga sendiri. Ini termasuk wasiat yang yang disebutkan oleh Allah subhanahau wata'ala dalam surat An-Nisa.

وَٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا۟ بِهِۦ شَيْـًٔا ۖ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا وَبِذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ

Di situ ada وَٱلْجَارِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ tetangga yang mereka masih keluarga, dan juga tetangga meskipun dia jauh.

Dan secara umum, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ

“Barang siapa yang beriman kepada Allah subhanahau wata'ala dan hari akhir, maka hendaklah dia memuliakan tetangganya.”

Memuliakan tetangganya, mendahulukan tetangganya daripada yang lain. Ini di antara maknanya. Misalnya dalam masalah makanan, maka kita dahulukan kalau memang di sana ada tetangga kita yang lebih membutuhkan, maka kita dahulukan memberikan makanan kepada tetangga kita sebelum yang lain. Ini adalah termasuk husnil jiwar (حُسْنِ الْجِوَارِ).

Termasuk di antaranya adalah jangan sampai ada kejelekan kita yang sampai kepada tetangga kita. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sampai mengatakan,

وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ. مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

“Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, orang yang orang lain, yaitu tetangganya, tidak aman dari kejelekan orang tersebut.”

Sampai dikatakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak beriman orang yang demikian, yang tetangganya tidak selamat dari kejelekan dia, mungkin dari suaranya yang berisik, atau mengganggu dengan perbuatannya, maka ini dikatakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak beriman.

Dan ini menunjukkan bahwasanya menghormati tetangga, memuliakan mereka, ini adalah sebuah kewajiban.

وَالإِحْسانِ إلَى الْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ، وَالرِّفْقِ بِالْمَمْلُوكِ

Dan mereka juga memerintahkan untuk berbuat baik kepada anak yatim.

Siapa yang dimaksud dengan Al- Yatama (الْيَتَامَى)? Ini adalah jamak dari yatim, dan yatim artinya adalah seorang yang ditinggal mati bapaknya dan dia masih kecil, kalau ditinggal mati oleh ibunya maka tidak dinamakan dengan yatim. Kalau ditinggal mati oleh bapaknya dan dia sudah besar, sudah dewasa, maka tidak dinamakan dengan anak yatim.

وَالإِحْسَانِ إلَى الْيَتَامَى

“Karena mengikuti apa yang Allah perintahkan untuk berbuat baik kepada anak yatim.”

Dan di dalam sebuah hadīts, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mendorong kita untuk bisa menjadi seorang yang memberikan santunan kepada anak yatim.

Beliau shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan,

أَنَا وَكَافِل الْيَتِيم كَهَاتَيْنِ أَوْ هَكَذَا فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا

“Aku dan orang yang menanggung anak yatim, maka di dalam surga (هَكَذَا).”

Maksudnya adalah seperti ini. Beliau shallallahu 'alaihi wasallam menggabungkan antara dua jari Beliau shallallahu 'alaihi wasallam yaitu jari telunjuk dengan jari tengah.

Nah ini menunjukkan tentang bagaimana derajat yang tinggi yang dimiliki oleh orang yang memberikan santunan kepada anak yatim, dan tidak harus banyak, satu orang misalnya kita berikan dia santunan sampai dia dewasa.

وَالْمَسَاكِينِ

“Dan mereka juga memerintahkan untuk berbuat baik kepada orang yang miskin.”

Orang yang miskin, ini kalau disebutkan miskin, maka masuk di dalamnya orang fakir. Keadaan orang miskin itu lebih mending daripada orang fakir, kalau fakir ini parah sekali.

Kalau miskin, dari kebutuhan dia yang 100%, itu 50% lebih itu bisa dia penuhi. Misalnya kebutuhan dia adalah 100% tidak bisa dia penuhi, cuma yang bisa dia penuhi adalah 50% atau 60%, maka ini dinamakan dengan miskin.

Adapun fakir maka yang bisa dia penuhi adalah kurang dari 50%. Misalnya kebutuhan dia 100%, yang bisa dia penuhi dalam sebulan hanyalah 20%, maka ini dinamakan dengan fakir. Kalau disebutkan miskin, masuk di dalamnya fakir.

وَابْنِ السَّبِيلِ،

“Dan kita disuruh berbuat baik untuk para musafir.”

Seorang musafir, ibnu sabil, anak-anak jalan, yang maknanya adalah musafir, karena musafir ini kan dia senantiasa di jalan, di perjalanan, sehingga dinamakan dengan ibnu sabil.

Yaitu seorang musafir yang dia kehabisan bekal, dia sangat membutuhkan, apalagi di tempat tersebut tidak ada orang yang dia kenal. Maka kita diperintahkan untuk berbuat baik kepada orang-orang yang demikian keadaannya.

وَالرِّفْقِ بِالْمَمْلُوكِ

“Dan mereka memerintahkan untuk berlemah lembut kepada Al-Mamlūk (الْمَمْلُوكِ).”

Yang dimaksud dengan Al-Mamlūk (الْمَمْلُوكِ) adalah budak.

Karena biasanya orang ketika punya budak, apalagi dia seorang majikan, dia semaunya menyuruh orang yang ada di bawahnya, termasuk di antaranya adalah Al-Mamlūk (الْمَمْلُوكِ) seorang budak. Maka di dalam Islam kita diperintahkan untuk berlemah lembut kepada seorang Al-Mamlūk (الْمَمْلُوكِ) yaitu seseorang budak. Padahal dia adalah harta kita sendiri, kita yang membelinya tapi kita diperintahkan untuk berlemah lembut.

Dan secara umum, orang yang berlemah lembut,

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

“Sesungguhnya kelemah-lembutan itu tidak ada pada sesuatu kecuali akan menghiasi, dan tidak diambil dari sesuatu kecuali akan memperjelek.”

Maka berlemah lembut kepada seorang budak ini dianjurkan di dalam agama Islam. Dan kalau memang kepada budak saja kita disuruh berlemah-lembut, apalagi kepada pembantu, dan juga sopir misalnya, karena sopir dan pembantu kita itu lebih, jauh lebih tinggi kedudukannya daripada seorang budak. Karena mereka adalah orang-orang merdeka. Adapun budak maka dia adalah orang-orang yang belum merdeka.

Kepada Al-Mamlūk (الْمَمْلُوكِ) saja,kepada orang yang merupakan budak saja kita disuruh untuk berlemah lembut, apalagi dengan orang yang yang membantu kita dalam kehidupan kita sehari-hari.

Sehingga Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah diceritakan oleh Anas bin Malik, selama 10 tahun Anas bin Malik beliau bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, tidak pernah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan kepadaku: “Kenapa engkau tidak melakukan ini. Kenapa engkau tidak melakukan ini.”, ini tidak pernah diucapkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam .
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url